favorit cartoon

favorit cartoon
permen itu penuh rasa...

Sabtu, 18 Oktober 2014

Sepatu Merah



Seperti biasa,mataku terbit lebih dulu dari pagi yang masih kelam,sekalipun malam sudah selesai. Kurasa matahari perlu membuka matanya supaya memberi kesaksian bahwa pagi telah berjalan. Aku mengisi bloknot ku dengan tulisan yang entah apa. Ya... itulah kebiasaan ku kalau sedang menunggu. kertas dan tinta kawan yang cukup baik dalam hal menunggu. sekalipun aku hanya terus menulis kata rindu saja ditubuh kertas. Rindu yang seratus kali disana, atau bahkan sudah beribu kali jika kugali helai-helai sebelumnya. Sudah dua jam aku menunggu bunyi sepatu ber-hak tingginya itu bersenandung dengan lantai. Bunyi yang bagiku adalah setengah dari jiwaku yang hilang. Ayah masih terpejam. Kupikir ia sedang bermimpi membopong atau dibopong tujuh bidadari. Entah bidadari berselendang dari khayangan atau bidadari dari neraka. Eh memangnya ada bidadari dari neraka? 

Mataku mengarah ke jam dinding yang bertengger di meja belajarku. Sudah hampir pukul lima. Adzan akan segera berkumandang. Namun mengapa suara “tuktuktuk” sepatunya tak juga dapat kudengar? Padahal aku menunggu sudah hampir tiga jam. Malah bukan tiga jam lagi kalau kuhitung-hitung dengan pagi yang kemarin dan kemarinnya lagi. Tunggu,biar kuhitung... oh aku sudah menunggunya selama 2490 jam. itu barusan ku hitung dengan kalkulator handphoneku. Aku heran kenapa ia tak jua datang? Memangnya aku salah apa sampai sebegitunya? Apa ia tak rindu kepada gadisnya ini? Aku menulis kembali ‘rindu’ besar-besar dibloknot ku. Sekalipun masih kalah besar dengan skala rinduku yang sebenarnya.

“emily... bangunǃ” Itu suara ayahku. Harusnya aku yang teriak begitu.
“sudah bangun ayah.”
“cepat mandi,nanti kau terlambat lagi.”
“aku tak pernah terlambat. Ayah yang selalu begitu.”
“jangan membantah emily. Lekas siap-siap.”
 
Topi upacara sudah, dasiku...ya lumayan rapi. Meskipun masih lebih rapi kalau wanita yang selalu kutunggui setiap pagi buta itu yang memakaikannya. Wanita yang selalu memakai sepatu ber-hak tinggi berwarna merah dengan bunyi gemeletuk gigi. Aku berjalan menuju teras. Ayah belum juga siap.  Selalu begitu.
Suara kenop pintu terdengar dari kamar ayah “ayo cepat emily. Ayah sudah menunggu di teras.” Lagi-lagi ia sok paling benar. Padahal ia masih di ruang tamu sibuk dengan dasinya.
Sebelum ayah sampai ke teras, aku lebih dulu memunculkan tubuhku ke ambang pintu. Dengan nada malas aku menjawab “aku sudah lebih dari 15 menit di teras ayah.”
Ayah terkejut sekejap. matanya menggambarkan sedikit malu di wajahnya. “oke... maafkan ayah.”
 Sudah kumaafkan dengan sekali anggukan.

 ***
Pelajaran hari ini sangat membosankan. aku mencampakan tas ku ke tempat tidurku yang berbentuk persegi panjang. badanku menyusul ambruk setelah bunyi gedebuk tas ku. Aku berbaring ditempat tidurku,sesekali menggeliat tak tau mau ngapain. Seharusnya aku ada kelas menari hari ini. tapi sudah hampir tiga bulan semenjak wanita yang selalu ku rindui itu pergi ayah melarangku menari lagi. 

“ibumu itu menjadi liar. Dan itu ku ketahui semenjak ia ikut menari sewaktu SMA. Semenjak ia meraih juara satu dari hampir seluruh SMA di jakarta. Sejak itu lah bubung kecintaannya pada tari. Makanya ia memilih jadi penari saja daripada repot-repot kuliah. aku tak mau kau seperti ibumu emily. Aku mau kau menjadi wanita karir. Mereka selalu tampak anggun dan cerdas. Begitulah nanti kau anakku.” Begitulah ayah berkilah setelah seminggu ibu pergi. Oh iya, dia; wanita yang sangat kucintai dan selalu kutunggui itu adalah penari. penari yang sangat profesional tentunya. makanya ayah bilang ia mendapat juara satu. makanya pula ia menjadi guru tari di salah satu sanggar termashyur di jakarta. Ibu memang sedikit bandal, tapi sungguh ia tidak liar. ayah saja yang mungkin kurang pengertian. Pekerjaan lah yang menuntutnya selalu pulang di pagi yang masih dini. Ia harus melatih murid-muridnya pada malam hari. Sebab dipagi yang sudah lumayan cerah, ia harus menyusun bukuku,menyiapkan sarapan ku dengan ayah dan mengepang rambutku. sekarang, semenjak ia pergi tak ada lagi yang mengepang rambutku. Dijah pembantuku itu sangat payah untuk urusan tata rias. Ayah apalagi. Ia tak tau apa-apa tentang penampilan perempuan. mungkin itulah sebabnya ia tidak cantik.

Ah aku suntuk sekali di kamar ini. Bagaimana kalau melompat ke kamar ayah? siapa tau disana kutemukan ibu sedang terpulas di tempat tidur. dan karna terlalu capai tiga bulan bepergian,ia lupa mengabariku bahwa ia sudah pulang. Oh ya ampun... harapanku untuk ia kembali datang memang tak pernah sirna. Aku memang sangat rindu sekali padanya. Anak mana coba yang tak rindu ditinggal pergi selama tiga bulan? kurasa sekalipun ia anak durhaka, ia tak mungkin tak rindu pada wanita yang rela mati meminjamkan rahimnya.
Aku sudah sampai di depan kamar ayah. Sudah bertatap muka dengan pintunya. Kulihat Dijah di teras rumah sedang menelepon Djoko pacarnya dikampung. Inisial nama mereka sama-sama D. Mungkin mereka memang berjodoh. Ah masa bodo. Daun pintu sudah kugamit. Segera kutekan dan pintupun terbuka. Wangi kamar ayah masih seperti dulu. parfum yang beraroma buah-buahan segar milik ibu masih rela menebarkan wanginya ke ruangan yang berbentuk kubus ini. parfum itu seakan melambangkan hati ibu. Yang mana ia tampak menghilang, namun hatinya tetap tinggal. 

Gambar dengan pose tersenyum itu masih saja terbungkus bingkai. Gambarku,ayah dan ibu tentunya. diambil ketika usiaku bertambah menjadi delapan. Sekarang aku sudah dua belas. Empat tahun yang lalu tepatnya saat aku kelas tiga SD. Mereka menghadiahkanku liburan ke pantai. Dan gambar itu diambil tepat di villanya. Saat menjelang makan malam kalau tak salah. Ah aku ingin ke delapan tahun lagi kalau saja Tuhan jadi mengirimkan mesin waktu seperti di kartun kesukaanku doraemon. Tapi sepertinya Tuhan belum mau. Aku membuka laci lemari ayah. Parfum ibu bernaung disitu. Aksesoris ibu pun juga. kurasa ibu tak keberatan kalau aku menjajal satu demi satu koleksinya. Gelang,kalung,belt. Oh anting tak bisa kupakai. Lubang tindik di kupingku sudah tertutup. Mungkin angin terlalu sering lewat disana.

Lemari ayah tak serumit ini dalamnya sewaktu ada ibu. Baju-baju tak tumbang dan membaur kesana-kemari. Dari lemari saja sudah jelas kalau lelaki memang hampir tak bisa hidup tanpa wanitanya. Dan aku tahu ayah memendamnya. Makanya belakangan ini ia sering marah-marah tidak jelas. Aku tak merapikan lemari ayah. Takut-takut ia mengomel kalau aku masuk ke kamarnya dan membuka lemari tanpa sepengetahuannya. Tak banyak yang berubah dari kamar ayah. Kecuali lemari tua yang berantakan ini. ah kurasa sudah cukup. aku harus kembali ke kamarku. 

“duuug”

Kakiku menendang kotak sepatu dari kolong kaki meja rias ibu. Karna penasaran aku segera membukanya dengan terburu-buru. Namun, rupanya rasa penasaranku menyebabkan mataku terbelalak,dadaku seperti berpindah keperut. Sepatu itu membuatku terkejut. Sepatu merah dengan tinggi sekitar lima centi. Sepatu yang selalu kutunggui bunyi “tuktuktuk” nya. Mataku terasa perih. rasanya seperti ingin mengeluarkan hujan. Aku terlalu dan teramat sangat merindui ibuku. Sepatu itu tak bersamanya dan itu membuat dadaku ingin meledak. Kemana sebenarnya ia pergi sampai berani meninggalkan sepatu kesayangannya ini? sebenarnya ibuku kau simpan dimana sih Tuhan? Kurasa ia selalu disekitarku. Sekalipun aku tak melihatnya. Kadang aku merasa kami sedang bermain petak umpat. Dan kau senantiasa mengumpatinya.

Kupukul lantai dengan sepatu merah itu “tuktuktuk... tuktuktuk...” ah... aku rindu bunyi ini. kupukul lagi dengan sedikit lebih kuat sehingga bunyi tuktuktuk nya terdengar lebih nyaring. “TUKTUKTUK...” ah dia pulang. aku terus memukul, sampai akhirnya aku tau bahwa ia memang sudah pulang. sepatu ini harus kubawa ke kamarku. sudah lama ibuku tak singgah ke kamarku. Tuhan aku menang. besok-besok jangan main petak umpet lagi ya...Terima kasih.

*** 
“emily... ayah bawa martabak kesukaanmu. Coklat dan keju.” Ayah memanggilku. Suaranya kuat,tapi bernada lembut. Selembut mentega di dalam martabak yang dibawanya. Aku masih sangat merindu ibu. Dan kuputuskan ayah menyantapnya duluan.

“jangan nanti-nanti. Aku membelikannya untukmu. Menteganya sudah meluber kemana-mana. Coklatnya juga.”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Simbol kekesalan menghadapi ayah yang tak sabaran. “iya...emily datang ayah.”
Aku menautkan pantatku di kepala kursi. “bagaimana sekolahmu? Apa ada kendala?” ia bertanya.
“sekarang bulan desember, dan seminggu lagi hari ibu.”
Ayah tergelagap. Kemudian ia berdeham “oke aku mewakili ibumu.”
“berarti ayah akan memakai kebaya seperti ibu-ibu.”
Ayah menelan ludah kemudian ia membeku persis seperti patung. “sudah tak usah dipaksakan. Ibu sudah bersamaku kok.”
“ya dia memang selalu bersamamu. Aku tau.” Wajah ayah tiba-tiba muram. Ia langsung masuk ke  kamar. Kurasa dia sebal karna kusuruh pakai kebaya. Aku menghabiskan dua potong martabak,lalu mengisap jempolku karna coklatnya lebih suka dihisap dari pada digigit.

*** 

Kawan-kawan sekelasku sedang ramai membicarakan kebaya yang akan dipakainya di hari ibu nanti. Terutama Debby,Angela dan Cindy. Mereka memang suka sok paling oke setiap ada acara disekolah. padahal menurutku biasa-biasa aja. Oh my God, Mereka menoleh ke arahku,sepertinya mereka tau kalau aku baru saja memperhatikan mereka. oke, sebaiknya aku segera beralih pandang dan mulai memikirkan bagaimana membawa ibuku nanti. aku percaya, Ibuku pasti akan menjadi yang teranggun disana. kita lihat saja.

***
  
Aku mengeluarkan ibu dari tas ranselku. Ku kasih kepada salah satu pegawai di suatu pabrik toko sepatu.
“aku ingin percis seperti ini.” aku mengenalkan ibu pada mereka. “ukuran kakiku dua puluh delapan.” Pegawai toko itu mengangguk.
“kembali sekitar lima hari lagi ya adik.” Kemudian ia tersenyum.
“tapi aku akan memakainya tiga hari lagi. ini kupakai buat hari ibu.”
Pegawai itu menghilang ke arah gudang. Kurasa ia mengadu kepada bosnya.
“oke kembali dua hari lagi.” aku tersenyum dan kuucapkan banyak-banyak terima kasih padanya. Kusertai senyum yang banyak juga.
Karna kakiku masih kecil, jadi ibu harus berubah jadi kecil dulu untuk mengawasiku ya...

*** 
Ayah meninggalkan ku di salon sejak kedua jarum jam di arlojiku sama-sama menunjuk angka lima. Ia berpesan kepada si mbak atau mas... ah aku bingung harus memanggilnya apa. Dia berjakun tapi memakai rok yang lebih pendek daripada rok ku di sekolah. Kata ayah padanya,supaya menata rambutku sebaik mungkin dan merias wajahku secantik hmm... aku maunya Emma Waston. Mbak atau mas itu mengangguk disertai senyum genit. Dia ganjen sekali. Ayah membalas senyumnya, tapi aku tau ayah sebenarnya jijik. Aku juga.
Oh iya. By the way,ibu yang kecil sudah jadi. Aku merasa kami menjadi sepantar. Ia teramat cantik dan aku merasa nyaman dibawanya. Pabrik sepatu itu memang juara. Kurasa ayah tak perlu tahu tentang ini. bisa-bisa ia membuang ibu yang kecil ke lubang sampah dan merebut kembali ibu yang besar ke kamarnya. Atau bahkan ikut membuangnya juga. sebab ia tak pernah suka kalau aku memakai barang atau bergaya seperti ibu yang menurutnya belum pantas. terlalu dewasa dan norak katanya. Ah laki-laki tau apa tentang perempuan.

***  

Mang ujang mengantarkanku terburu-buru karna aku baru saja rewel kepadanya supaya sampai tak tepat pada waktunya alias lebih dulu dari jam yang telah ditentukan sekolah. Aku tak mau berdesak-desakan masuk ke gerbang sekolah. Lagipula aku membawa ibu. Aku belum terbiasa membawa ibu dengan cara seperti ini ; menungganginya. Kakiku masih belum selihai dan selincah dia. Takut-takut nanti aku terjerembab karna bersenggolan.

“makasih mang Ujang. Jangan terlambat jemput ya.” mang Ujang memijak gas setelah menjawab perintahku. tuktuktuk ritme ibu dikakiku ini tak semerdu di kakinya. aku kesal sekali. tapi aku mengampuni diriku karna memang aku baru menggunakannya sekali. 

Aku bukanlah siswi yang paling dulu datang. Sebab Cindy dan Angel rupanya sudah duduk manis dengan ibu-ibu mereka disana. Cindy memakai kebaya dengan corak bunga mawar besar-besar berwarna merah. Sementara Angel memilih hijau. Bunga-bunga juga sih, tapi lebih kecil sekecil melati. Baju mereka sewarna dengan ibu mereka.  Dan aku sendiri, aku membungkus badanku dengan kebaya putih polos yang di setiap sisi-sisinya dipagari warna keemasan. Kebaya ini kembar dengan kebaya ibuku. Aku bukan hanya merasa cantik memakainya. Namun aku juga merasa sangat terjaga karna langkahku disertai ibu ; sepatuku.

Angel dan Cindy sedari tadi tampak memperhatikanku. Mereka tekun sekali melihat ibuku. Habis itu mereka sikut-sikutan sambil seperti ingin nyengir. Aku tak peduli,sebab kuanggap mereka itu sirik. Dari jendela kaca kelas yang lumayan besar,terlihat Debby baru saja datang. Dia pakai kebaya warna ungu,ibunya tertinggal beberapa langkah dibelakangnya dan memakai kebaya yang sewarna juga tentunya. kurasa mereka semua janjian. Cindy dan Angel berlari ke arah Debby. Mereka terlihat sedang ngerumpi. Debby melihat ke arah ibuku. Lalu ketiganya terkekeh-kekeh. Aku tak tau apa yang mereka tertawakan. Tapi yang jelas aku tak suka dengan cara mereka tertawa. mereka menutupi mulut mereka sambil tertawa. kurasa mereka semua juga kompakan untuk tidak gosok gigi sebelum berangkat kesekolah.

***
  
Acara telah dimulai. tari-tarian daerah selalu menjadi acara pembuka di sekolah. Dan Itu selalu dibawakan oleh anak kelas tujuh. Tahun lalu aku ikut jaipongan, dan semua guru bilang aku keren. saat itu ibu juga kecipratan dibilang keren karna mereka tau ibu adalah penari hebat. Saat itu hampir seluruh orangtua murid bahkan guru-guru menaruh takjub kepada kami ; aku dan ibuku. 

Debby berjalan ke arahku. Angel dan Cindy tiba dibelakangnya. Ibu-ibu mereka tampak tak terlihat di sekitar mereka. Debby mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku. Mulutnya hampir menerkam telingaku 

“sepatumu oke juga. mirip seperti sepatu-sepatu wanita nakal kalau ibuku bilang.” Mereka menertawaiku. Aku mendidih.
“bilang sama ibumu kalau dia terlalu kasian ditinggal ayahmu karna mungkin kurang nakal.” ayah Debby dan ibunya telah bercerai. Ku ketahui seminggu yang lalu karna dia terlalu sering mengusiliku. Dan sekarang kubuat lecutan untuknya agar supaya dia jera mengurusi hidupku.
“dasar kau kurang ajar. Anak pelacur.” Dia hampir meninjuku, aku menangkisnya duluan. Semenjak ia membilangku anak pelacur ada suatu energy yang besar tiba-tiba merasuki tubuhku. Emosiku tumpah ruah karna makiannya itu. Tau apa dia tentang ibuku? Kucengkramkan tanganku tepat di jajaran kancing-kancing kebayanya. Kutarik kuat hingga kancing-kancingnya terkoyak. Ia menangis. Aku tak peduli. Bahkan masa bodo kalau payudaranya sudah tumbuh. Sekarang hampir seluruh manusia yang hadir di sekolah ini menumpahkan pandangan mereka ke padaku. Dan sekarang aku merasa lebih menarik dari adik kelasku yang sedang menari. sekalipun pandangan yang kudapat adalah pandangan menjijikan.

Dari tengah-tengah keramaian Ami teman semejaku menyelinap masuk dengan tubuhnya yang sempit . “emily... buk roseni menunggumu di ruang bimbingan konseling bersama Debby dan Ibunya.”  Ia baru saja memberikan kabar yang berarti nelangsa untukku. 

    *** 

“kau mencurinya dari kamar ayahkan?” ayah menjewer kupingku. Aku diam saja.
“kau ini perempuan emily. Betapa malunya ayah dipanggil kesekolah karna kau berkelahi. Dan di depan banyak orang tua murid pula.” Ayah membentakku. Suaranya memenuhi seisi ruangan. Aku sontak terkejut,lalu menangis.
“dia mengatai aku anak pelacur ayah. Ibu bukan pelacur dan ayah tau itu.” Ulasku sesenggukan. Ayah membisu sebentar. kepalanya tertunduk dan tangannya menumpu dahinya.
“masalah awalnya bukan itu kan emily?  Masalahnya adalah kau masih kecil tapi sudah bergaya seperti orang dewasa. dan kawan-kawanmu tentu risih. Sekarang mana sepatu itu? Sepatu ibumu juga kembalikan.”
“tidak mau.”
“kembalikan emily. Sebelum ayah semakin marah.”
“emily tidak mau ayah. Ini barang ibu yang emily rasa ada ibu didalamnya. Emily selalu rindu bunyi sepatu ini. sepatu yang selalu emily kenali bunyinya. Emily mohon ayah, ambil saja yang kecilnya. Tapi jangan yang ini.” aku bersungut-sungut di lutut ayah. Ayah memandangku iba. Tapi wajah kesalnya terlihat lebih penuh.
“maaf emily... ayah harus mengambilnya, Karna tak menutup kemungkinan untuk kau menggandakannya lagi.” ayah menarik paksa ibu dari tanganku. Rasanya percuma kalau aku meronta-ronta karna tenaganya sudah jelas berkali-kali lipat dari tenagaku. Aku memasrahkan diri. yang terpenting aku sudah tau, kalau ibuku sudah pulang. sekalipun hanya alas kakinya saja.

***
     
Kaki-kaki senja sudah mulai lumpuh. Tubuhnya hampir sudah tidak berguna sehingga ia memilih tenggelam dan bersemayam di sepanjang hitam yang sering mereka sebut malam. aku baru saja selesai latihan menari. biasanya,aku menyembunyikan ibuku (yang kecil) ketika akan berhadapan dengan rumah. biasanya aku menggantinya dengan sepatu biasa. Dan biasanya ayah belum pulang jam segini. Tapi rupanya malam ini luar biasa. Di sepanjang jalan menuju rumah aku gentar karna suasananya begitu sunyi. Jadi aku lupa mengganti ibuku dengan sepatu cadanganku. Sementara Ayah pulang lebih dulu dan mampuslah aku.
“kenapa masih memakai sepatu itu emily?” ia menatap ngeri kepada ibu. Nada bicaranyapun menjelaskan bahwa singa telah memasuki tubuhnya. suaranya besar. Lebih besar dari tekanan batin yang sekarang kuderita.
“aku tak pernah merasa sendiri jika memakainya ayah. Ibu berada denganku. Tuk tuk tuk... tuk tuk tuk... begitukan suara ibu ayah? Tolonglah ayah. Emily butuh ibu.” Aku menjelaskan bunyi ibu dengan begitu mirip meskipun ketakutan sedang memijakku.
Ayah mengernyitkan dahinya. Alisnya terangkat sebelah. Mungkin ayah akan menghukumku lagi. aku rasa setelah ini ayah harus kuliah lagi di jurusan hukum. Karna kerjanya saat ini adalah tukang hukum.
“oke emily. Ayah akan berikan ibu kepadamu . ayah pikir ini memang sudah saatnya.” Aku sontak berdecak kaget. Aku melompat kepelukan ayah dan aku memeluknya dengan sangat girang. Rupanya aku salah untuk menyuruhnya kuliah di jurusan hukum. Aku salah sekali dan aku harus memeluk ayah lebih erat untuk menyampaikan maafku lewat dadaku ke dadanya.
     
***
                
“sepatu norak. Sepatu perempuan jalang.”
“PRAAAAAAKǃ” perempuan itu baru saja menyela ibuku. Kupikir dia pantas untuk dapat hukuman. Maka itu kupukul dia dengan ibuku kuat.
“masih kecil aja gayanya sudah seperti perempuan malam.” mulut orang ini sangat jahat. Aku tak suka dengan orang jahat. Ibu juga tak suka dengan orang jahat. Maka itu dia harus kupukul juga supaya menjadi baik.

Untuk orang-orang pencibir manapun yang berani sesukanya menilai buruk penampilan orang menurutku dia patut untuk diberi pelajaran. Dan saat ini kupikir aku sedang menjadi guru yang tepat untuk mereka. kecuali kalau aku sudah ketahuan ayah. Itu sudah lain cerita.

Tak berapa lama kudengar suara entah siapa dari kejauhan. “hey Emily, kau di panggil untuk keruang bimbingan konseling. segera.” Rupanya, aku akan segera masuk lagi ke dalam neraka.
***
Mesin mobil ayah sudah terdengar jelas di telingaku. Sekarang yang harus aku lakukan adalah mempertebal telingaku dan meredam emosiku kalau-kalau dia membuka pintu dan langsung memakiku. Sebab aku yakin pihak sekolah pasti telah memberi tahu profesi baruku menjadi tukang pukul selama disekolah tadi.
engsel pintu berderit. Suara sepatu ayah sudah bernafas di telingaku. Aku tergagap. Ayah menatapku nanar,dan aku merasa seperti aku ini buruan yang siap untuk di terkam. Tapi tidak. Kurasa bukan saat ini, karna tiba-tiba ayah tersenyum sumringah. Senyum yang sudah jarang ku lihat sebelum ibu pergi entah kemana. “emily... ini ayah bawakan martabak.” Bukannya senang karna tak jadi kena marah aku malah merasa aneh dengan ayah. Ini jauh diluar dugaan. Jauh sekali. 

“ayah tidak marah padaku? pihak sekolah tak...” ayah memotong kalimatku.
“ayah sudah tau. Kupikir kau memang sudah butuh ibu emily.”
“tentu ayah. Emily teramat sangat butuh ibu.”
“baguslah. Kalau begitu kau tunggu disini. ayah membawa kejutan untukmu. Ayah harap kau akan menyukainya.” ayah menyimpulkan senyum. ia menuju teras lagi seperti ingin mengambil sesuatu yang tertinggal.
 “tuk tuk tuk... tuk tuk tuk...” suara itu menggigit kupingku. Aku sangat hapal dengan bunyinya. Walaupun irama tuk tuk tuk nya sedikit ada yang berbeda. Suara itu semakin mendekat ke ambang pintu. Jantungku gemetaran, suara tuk tuk tuk itu mengusik telingaku. Apa ayah membawa ibu? Apa ibu sudah jera bersembunyi? Apa?
Aku membeku di ujung tanda tanyaku.

“emily... kalian tampak serasi. Dan aku berharap kalian akan...”
“ayah siapa dia?” aku menyela kalimat ayah dengan nada yang kubuat sangat kejam karna wanita yang dihadapanku ini berani-beraninya memakai ibuku yang besar.
“ayah rasa kau benar. Kau butuh ibu untuk menjagamu. Lily adalah sekertaris ayah. Ayah mengenalnya dengan baik. ia pantas menjagamu sayang.”
Wanita itu melebarkan garis bibirnya membentuk senyuman. Di berikannya tangannya padaku untuk supaya aku mau bersalaman dengannya. aku menatapnya dengan marah. Ku persempit jarak pandangku lalu ku tepis kencang tangannya. dia menjerit sedikit.
“emily apa yang kau lakukan?” ayah membentakku.
“kenapa sepatu ibu ada padanya? Emily tidak suka. sepatu merah itu yang melindungi surga ibu. Dia bukan surga emily. Emily gak mau berganti surga. Emily gak mau berganti ibu.”
Ayah tergelagap. Matanya melebar. Ditariknya tanganku hingga menjauh dari wanita yang tidak tau malu ini. yang berani-beraninya memakai ibuku yang besar.
“dia tulus ingin merawat kita sayang. hidupmu masih sangat panjang dan kau memang butuh ibu.” Nada ayah sangat halus. Mungkin sehalus bayi udang hingga akupun mendengarnya samar-samar.
“emily sudah menemukan ibu ayah. Ibu itu yang dipakainya. emily dan ibu lah yang nanti merawat ayah. emily tidak suka dia. Dia bukan surga emily. Suruh dia cari penghuni surganya. Emily tidak mau.”
Ayah memandangku dengan wajah ngeri. Sampai-sampai aku takut menatap ke dalam mata ayah. “kau mulai sakit emily. Ayah akan segera menikah. Kau tak bisa begini terus. Berhenti berkata sepatu itu adalah ibumu. Ayah tak pernah mengawini sepatu.” Ayah berjalan ke arah wanita itu. Aku dilewati nya begitu saja. aku memutar tubuhku ke arah mereka. Tangan ayah menggapai tangan wanita itu. ayah seperti akan membawanya lagi ke asal mulanya. Kupikir asalnya adalah neraka. Sebab aku merasa panas waktu berada di jarak yang dekat dengannya. sebelum ayah benar-benar mengantarnya lagi entah kemana. Aku bersuara.
“tante... emily rasa sepatu itu bukan milik tante. Dan menurut emily, tante tidak pantas memakainya. tante lebih pantas berkaki ayam.”

Wanita itu seketika seperti ingin mengerang. Ia cepat-cepat meloloskan ibu dari kakinya. aku cukup senang. Tapi lagi-lagi ayah membentakku. Dan aku mati-matian menulikan telinga,sebab kalimat ayah bisa saja mengiris telingaku karna sangkin tajamnya.

     ***
     
Sejak ayah mengenalkan sekertarisnya yang jelek itu, ayah menjadi sangat menyebalkan. Ia jarang dirumah dengan alasan yang membosankan. aku hampir selalu dimarahinya sekalipun kami sudah lebih jarang bertemu. Ayah masih bersikeras melarangku memakai ibu. Ia juga masih mati-matian melarangku untuk berhenti menari. tetapi aku menjadi lebih keras semenjak ia terus melarangku. Sekarang dinding rumah memilih menjadi batu es setiap kali ayah pulang. dinding itu seakan tahu mana yang salah dan mana yang benar.

sekarang ayah lebih sering menghabiskan waktunya dengan wanita sialan itu. dan belakangan ini aku lebih sering ingin mengintip ke hati ibu. Aku ingin tahu bagaimana hatinya kalau rupanya ayah telah berencana menggantikannya. Tapi dimana ibu sekarang? Apa aku harus menari lalu pura-pura tersandung supaya ia datang?

    ***   

“emily andai kau tahu betapa ayah ingin mengajakmu ke suatu tempat. betapa  Ayah ingin kau sadar nak.” Sayup-sayup suara ayah terdengar ke telingaku. Aku membuka mataku sedikit. Jam yang bertengger di meja belajarku menyapa mataku duluan. Pukul enam. Aku menggeser pandanganku ke dekat pintu. Tapi Ayah hampir saja menghilang dari pintu kamarku. 

“memangnya mau kemana?”
Ayah mengedikkan bahu. Ia terkejut lalu membalikkan badannya dan menujuku. “ke tempat ibumu.”
“ibuku yang mana?”
“ibumu yang melahirkanmu tentunya.”
Kepalaku spontan menggeleng sekuat-kuatnya begitu kalimat barusan turun dari mulut ayah. “itu bukan tempat ibu. Jangan pernah ayah bilang kalau tempat ibu disana,atau kalau tidak emily akan membenci ayah.”
“tapi memang disitu kenyataannya. Dan...”
Aku menyerobot kalimat ayah. “dan jangan pernah berharap kalau emily akan punya ibu baru. Itu tak akan.”
“emily,kau butuh seorang wanita dewasa yang akan merawatmu sampai kau juga dewasa.”
“tidak. Emily tidak butuh. Ibu bilang dewasa akan datang pada saatnya. Jangan mengada-ngada. Jangan berharap kalau...”
Sekarang ayah balas dendam menyerobot kalimatku. “aku telah menyebar undangan. Mau tak mau kau harus terima. Ini demi kebaikan...”
“oke. emily tidak akan pernah baik-baik kalau memang begitu.” Ayah tak boleh menyerobot kalimatku lagi karna aku sudah tak sanggup berkata-kata. Tenggorokanku betul-betul seperti baru saja menelan satu biji durian. Dadaku bergejolak dan jantungnya seperti sedang dicubit oleh jemari raksaksa.
“kau akan baik-baik saja sayang. Suatu saat kau akan mengerti. Gaun dan kebayamu sudah ayah siapkan. Warna merah seperti sepatumu.”

Kalimat ayah yang terakhir benar-benar meninju dadaku. seharusnya aku tidak usah bangun saja. atau seharusnya aku tidak usah bangun lagi jika akhirnya mati lebih baik daripada harus bernapas sesulit ini.

***
      
Aku beranjak dari tempat tidurku dan segera ku kemudi langkahku ke tempat dimana aku bisa menyembuhkan seluruh lukaku. semua organ tubuhku pada  bagian dalam seperti menjerit meronta-ronta ingin keluar. Dan ayah tidak tau itu. kalau sudah begini, sanggar tari adalah rumah sakit bagiku, dan menari adalah penawar sakitnya. Tak peduli sekarang hari minggu dan sanggar tariku tutup, aku benar-benar perlu melunturkan pedihku.
  
“aku mau menari.” pintaku pada Bio penjaga kelas tariku dengan pongah.
“tidak ada kelas tari hari ini.”
“tapi aku ingin menari.”
“jangan gila. sekarang tidak ada kelas. pulanglah.”

Bibirku bergemetar. Aku menarik napas panjang sampai hampir lupa menghembuskannya lagi. Bahuku naik turun. Ia seperti memompa supaya mataku tak bocor dan mengeluarkan air. Tapi rupanya aku tak butuh pompa. Aku butuh suatu pengganjal tapi aku tak punya. akhirnya,mataku bocor. 

“kau kenapa emily?” Bio sontak terkejut sewaktu air mataku meleleh,tapi ia wanita yang cukup pandai mengendalikan dirinya di setiap situasi. Dengan nadanya yang sehalus angin ia meraih tanganku. “Sepertinya kau butuh cerita dulu baru menari.” Bio membawaku ke beranda sanggar. Sebuah tempat bercerita yang lumayan asik dengan satu bangku panjang yang dinaungi pohon beringin yang rindang.

“oke emily. Kalau boleh aku tau,kau kenapa?” bio memulai pembicaraan. Ia menatap ke wajahku penuh penasaran.
“ayahku ingin menikah lagi.” aku sesenggukan dan malu untuk membalas tatapannya.
Mata bio melebar sebentar. Ia baru saja terkejut. “oh oke... itu memang menyakitkan.” Nada suara Bio menipis, lalu pandangannya mengikuti aku. Sekarang kami menunduk dan menatap kepada tanah.
“apa yang harus kulakukan? Aku tak mau punya ibu baru.”
“tak ada yang mau posisi ibunya digantikan. Aku tau betul itu. tapi seorang pria tidak akan pernah becus untuk tinggal tanpa wanita dewasa disampingnya.” Aku berpikir Bio sangatlah menyebalkan karna dia seperti berada di pihak ayahku.
“jangan sok tau begitu. Bahkan kau saja bukan seorang pria.” Aku menyambar dengan ketus.
“tapi ayahku tentu pria emily. Dan aku memang melihatnya sendiri.” Kali ini suara bio berubah menjadi parau. Aku melihat matanya sekilas.Tersirat wajahku begitu percis dengan wajahnya. Seperti ada kekacauan yang serupa disana.
“ayahmu juga menikah lagi?” tanyaku hati-hati.
“dua tahun yang lalu emily. Awalnya memang aku tak mengerti mengapa harus seperti ini. Awalnya aku memang melarangnya. Aku meronta-ronta, lalu ia sempat tak jadi menikah. Itu ketika umurku hampir sama denganmu. Ayahku menuruti permintaanku itu selama lima tahun. Namun aku melihat wajahnya menjadi dua kali lipat menua daripada umur seharusnya. Ia berantakan. Ia penjudi, pemabuk dan perokok keras. Dan itu semua demi menyanggupi permintaanku.”
“kenapa tak kau larang saja sekalian dia untuk tidak menjudi,merokok dan mabuk-mabukkan?”
“laki-laki itu mahkluk yang paling sulit untuk dilarang emily.”
“lalu kenapa dia menuruti permintaanmu untuk tidak menikah? Katamu laki-laki sulit untuk dilarang? Apa ayahmu bukan laki-laki?” aku mengerutkan kening mencerna kalimat bio dan sekaligus berpikir bagaimana bisa Ia lahir kalau seandainya ayahnya bukan laki-laki. “tapi sepertinya tidak mungkin ayahmu bukan laki-laki.” Sambungku setelah beberapa detik berpikir.
“yang benar saja. Tentu dia laki-laki. Laki-laki paling tangguh yang ku kenali. Hanya saja aku mengancamnya tidak akan tinggal lagi bersamanya. Karna aku putri satu-satunya,aku bagaikan mutiara yang mempunyai harga lebih tinggi dari apapun. Bahkan katanya lebih berharga dari nyawanya sendiri. Jadi ia tak jadi menikah.”  Bio memberi jeda,kulihat sekarang keningnya tampak berlipat seperti lemak perut. Kemudian ia melanjutkan “maksudku begini emily, kau tak mungkin bisa memperlakukan seseorang yang kau cintai seperti robot. Mereka perlu meluruhkan rasa sakit secepatnya. Dan mereka punya cara dan pilihannya sendiri. Aku hanya akan membunuhnya pelan-pelan kalau aku terus mengaturnya.”

Aku termenung lumayan lama. Sampai pada akhirnya terlintas dikepalaku untuk membiarkan saja ayah menikah. Tapi kemudian aku menyadari lagi ;bahwa aku betul-betul belum siap. “jadi ayahmu menikah lagi akhirnya?” imbuhku pada bio.
“iya. Awalnya memang aku tak terima dengan kehadiran ibu tiriku. Tapi semuanya berproses emily. Aku melihat dia begitu telaten mengurus ayahku, ia pun cukup baik terhadapku dan pelan-pelan aku mencoba menerimanya. Walaupun sampai sekarang belum sepenuhnya.”
 Aku menghembuskan napas panjang setelah menariknya kuat-kuat karna dorongan di dadaku yang sesak. “sebentar lagi mereka akan menikah Bio. Sebentar lagi aku akan hidup menderita. Bagaimana bisa aku sepertimu? Aku dan kau jelas berbeda.” kali ini suaraku terdengar sangat parau. Dunia sudah acak-acakan. Duniaku tentunya.
“kalau kau belum suka dengan ibu tirimu, kau cukup menghindari wajahnya dari matamu. Biar nanti hatimu yang menilai apakah dia seorang wanita yang benar-benar baik.” Bio mengalihkan pandangannya ke mataku setelah tangannya menampung daguku. Lalu ia menukas lagi. “untuk meredakan perasaan sakitmu, kau perlu melakukan aktivitas yang kau suka. Seperti menari. Kupikir menari adalah nyawamu. Benarkan?”
Aku tak menjawab pertanyaan bio. Yang dikepalaku sekarang hanya ada kegetiran dan ketakutan yang dahsyat. “aku takut sekali Bio.” Ungkapku.
Bio meraih tanganku lalu menariknya ke arah sanggar. Dengan cepat ia membuka pintu sanggar.
“ayo menari. Aku baru membuat gerakan baru. Ini sedikit sulit,tapi seru. Semacam salsa. Yakinlah, pasti seru.” Bio mulai memutar tubuhnya, tangannya mengambang secara cepat di udara. Pinggulnya bergoyang-goyang dan itu sesuai sekali dengan ritme musiknya.
“ayo emily. Ayolaaaah... cukup seperti ini.” Dia menggoyangkan lagi pinggulnya. “hanya seperti ini dan semuanya akan hilang. Masalahmu akan hilang dibawa angin. Makanya, gerakkan tubuhmu.”
Aku mencoba. Sebelumnya aku belum pernah salsa. Tapi bio benar, ini memang seru sekali. Tapi memangnya kapan menari bagiku itu tak seru? 

Aku terus menari, aku harus mengimbangi Bio. dalam menari juga dalam menghadapi ibu tiri nanti.
Kalau menari cukup menghilangkan rasa sakit walau sebentar, kalau begitu aku jadi penari saja di pernikahan mereka. setidaknya meskipun sebentar, aku tak perlu begitu sakit untuk melihatnya. Oh  yaampun mereka sangat menjengkelkan.


***
      
Ayah termenung di ruang TV. Wajahnya tampak mendung padahal hari begitu cerah pagi ini.
“ayah?” aku menyapa ayah sekaligus menyadarkannya dari lamunannya.
Ayah mengangkat matanya menemui mataku. Wajah mendungnya segera mengumpat dibalik senyumnya yang tampak percuma. “ya sayang.” Sahutnya.
“mau temani emily jalan-jalan?”
“oh tentu. Sebentar ya...”

Ayah mengindahkan permintaanku. Ia segera memanaskan mesin mobilnya. Aku lekas bersiap-siap. Di jalan dadaku serasa berdesir. Terus menerus dan kadang membuat perutku terasa sakit. Aku terus menunjukan jalan kemana aku dan ayah akan menuju.

Di persimpangan, dahi ayah mulai berkerut. mungkin ayah sudah mengenali bau jalan yang akan kami singgahi. Tapi aku memilih untuk pura-pura tak mengerti apapun selain musik yang kudengar di telinga sebelah kiriku menggunakan headset. Sebelah kanan sengaja tak kupasang, karna akan menganggu komunikasiku dengan ayah. 

Semakin masuk ke dalam, ayah semakin ragu untuk terus memijak gas mobilnya. Ditengah jalan yang sudah akan sampai tujuan , ayah berhenti.
“sebenarnya kita mau kemana emily?” tukasnya.
Aku tak menjawab pertanyaan ayah. karna beberapa langkah lagi kami sudah bisa sampai tujuan, aku membuka pintu mobil dan berlari ke tempat dimana ibuku bersemayam dengan tenang.
Ayah menyusul dibelakangku. Bisa kudengar derap langkahnya begitu gemuruh saat melihat aku berlari ke tempat si pemilik sepatu merah itu.

“emily... tidak. Berhenti disitu. – emily kumohon berhenti.” Ayah berteriak penuh kegetiran. Aku tau ayah sangat takut. Sebab sebelumnya aku seperti kesurupan saat melihat dia – wanita yang amat penuh kasih sayang untukku ini, harus tidur tersiram tanah. Aku sangat tidak rela saat itu, dan aku membuas kepada siapapun yang menabur bunga. Hingga aku kelelahan. Jatuh pingsan kemudian terbangun dan sudah terpapar di kamar. Semuanya terasa bagaikan mimpi. Kejadian di pemakamannya itu, setelah aku bangun dari mati suriku, aku memilih untuk mengingatnya sebagai mimpi buruk dan berpikir kalau ibuku hanya pergi sebentar keluar  negeri untuk belajar menari. Walaupun pada akhirnya aku tak pernah benar-benar yakin seperti itu.
Aku menoleh “tenang saja ayah, emily tak apa. Lagipula kemarin ayah memang akan membawaku kesini kan?” Ayah ikut menyusulku dibelakang,namun ia tak berkata apa-apa. Hanya sibuk memperhatikan ku dengan risau.
“dia sangat bahagia disana. ya kan ayah?” aku mengembangkan senyumku kepada ayah. rasanya teramat getir sampai-sampai tubuhku bergejolak. Bergetar hingga kemudian aku terisak.
“ayah emily rindu ibu.” Airmataku pecah. ayah menatapku penuh kepedihan. “sangat rindu sampai-sampai sulit untuk bernapas.”Ayah menarik tanganku dan langsung merengkuhku kedalam pelukannya.
“ibu inginkan kita bahagia. Ya kan ayah?” aku masih meratap sambil membelai nisan ibu. Sementara ayah hanya mengangguk dan terus membisu. “emily setuju kok ayah menikah sama tante lili.” Sebenarnya kalimat ini amatlah enggan aku ucapkan, namun entah mengapa ada kelegaan masuk ke dalam dadaku ketika aku mampu melepaskan egoku.

“tidak sayang. Tidak perlu begitu. Kita akan batalkan pernikahannya. Itulah yang sebenarnya akan lebih baik. maafkan.. ”
Aku menyambar kalimat ayah. “jangan!! Jangan batalkan. ibu pasti akan bersedih. Kita datang untuk memberitahukannya. Kita meminta restunya. Ayo sekarang ayah katakan apa yang harus dikatakan. Ya—ayah harus permisi dulu.” 

Ayah tertegun memandang nisan ibu. Matanya tampak kering sehingga air mata membasahinya. Ini adalah kali kedua aku melihat ayahku berair mata. Saat ibu pergi,dan  saat ini—saat kami datang menemuinya dimana ia sedang beristirahat sampai-sampai tak terlihat.
“anakmu mulai tumbuh dewasa bukan?” ayah mulai membuka mulutnya. “sebenarnya ia tumbuh dewasa bukan karna ku. Melainkan karnamu. Karna – ah,aku tidak tahu harus membilangnya bagaimana. Aku tak tau aku harus menyebutmu tiada atau menjadi lebih ada—disisi pun dihatinya.” Aku menunduk. Ayah berjeda. Mengambil kekuatan untuk tetap bicara. “keadaan memang selalu mampu merubah segala. Bahkan Ke ‘ada’anmu telah mampu merubah seekor anak ayam menjadi seekor macan dewasa. Kenyataannya Begitulah emily kita sekarang. Ia bahkan lebih tangguh daripada aku karna sudah jago berantam .” Ayah menggapai tanganku sambil tersenyum lirih, lalu meraihku kepangkuannya. “aku hanya ingin mengatakan bahwa sejak awal—sejak kita berhubungan tak ada satupun hal yang mampu membuatku membencimu selain pergimu. aku tak tau harus berkata bagaimana—kau adalah wanita terhebat yang pernah kutemui. Aku hampir tak bisa merawat diriku apalagi anak kita. aku hanya berharap kau mengerti  mengapa aku harus menikahinya dan mengerti betapa sulitnya hal bodoh ini untuk kuterima. Sebab tak akan ada yang pernah benar-benar menggantikan tempatmu. Kuharap kau tau ini, sebab kaulah penghuni didalamnya. Kaulah hatiku. Dan maafkanlah aku jika ini salah. Aku hanya mencoba menyelamatkan semesta kita. aku mencoba menyelamatkannya. Anak kita.” aku mengangkat kepalaku kepada ayah, segera kuhapus kesedihannya dengan tisu di tanganku. Ayah mencium keningku lalu mengangkatku dari pangkuannya ke sisinya. Ia segera mencium nisan ibu dengan hati yang berpindah kebibirnya. Setelah itu aku menyusul. Menciumnya dengan doa yang selalu ingin kusampaikan padanya. 

Sebelum meninggalkan makam ibu, aku menoleh sekali lagi kebelakang. Aku merasakan kakinya benar-benar mengikuti langkahku. kugenggam kuat tangan ayah, dan setelah itu aku percaya bahwa ia tak akan pernah kemana-mana selagi aku benar-benar merawatnya. Ia – ibuku-si-penari-itu. selalu menari dihatiku.
 

Minggu, 20 Oktober 2013

Tentang dua orang yang kebetulan.

Malam sudah semakin tua,beberapa jam lagi pagi yang dini akan segera muncul menggantikannya. mataku merekam sisi-sisi ruangan yang remang berhias lampu warna-warni yang berkedip-kedip di sepanjang musik berderai. Tumben hari ini pengunjung bar tak ramai seperti biasanya.
“ah sial!! aku hanya mendapat satu pelanggan” keluh perempuan disampingku seraya menggesek-gesekan rupiah yang menempel di sela jari-jarinya yang kurus dan panjang. “bagaimana denganmu? Kau dapat berapa hari ini?” tanyanya setelah menghitung rupiahnya.
Dengan malas-malasan aku menjawab “hanya dua” itupun tipsnya tidak besar,sudah tua pula. aku menggerutu.
“ya lumayanlah dari pada aku” keluhnya lagi, setelah menghembuskan asap rokoknya yang membentuk huruf O. Namanya Sela,ia adalah teman satu profesiku. Diantara teman-temanku yang lain ,kuakui wajah Sela lah yang paling beruntung. Bibir tipis dan bola matanya yang sedikit menyipit, mampu memancarkan aura sensasional pada setiap orang yang memandangnya. Hanya saja hari ini dia memang kurang beruntung. Ya,untuk satu pelanggan,ia jelas kurang beruntung. Kecuali ia dapat tips besar.

***

Ah, kota ini panas sekali. kalau aku berpakaian kaos lengan buntung pasti kulitku akan terbakar. Kalau seperti itu,pelangganku pasti akan merasa kurang nyaman. Oke ,kau tidak akan kupakai untuk hari ini. aku mencoba T-shirt Giordanoku yang berlengan panjang. dan...Shit rasanya sumuk sekali. ah, sungguh jakarta memanglah kota yang serba salah.
dari seberang jalan, teman-temanku melambaikan tangannya kearahku. Melempar kode bahwa mereka telah lebih dulu sampai dan sudah mengambil tempat, tepat di sudut ruangan cafe yang berdesain klasik. “hay fani..kami disini” Oh... Sela si brengsek itu sudah mendapat mangsa rupanya. Betul-betul sial. Aku kesiangan. Ternyata benar juga kata pepatah “kalau bangun terlalu siang, rezeki akan di patok ayam” dan hari ini sudah jelas. si Sela lah ayamnya. Dasar ayam kampus!
“kau mau pesan apa?” tanya Rika. teman yang tentunya juga satu profesi denganku. Seperti biasa,Ia menautkan dagunya tepat di bahuku. Ah dia memang selalu percis dengan lesbian.
“coffe delight sama pancake durian sepertinya serasi.” Kataku padanya,sekaligus pada waiters. Waiters itu melengos pergi setelah menunjukan senyumnya yang tampak gigi.
“jadi bagaimana nanti malam?” kata Sela yang menautkan bokongnya di atas sepasang paha mangsa barunya itu. ia terlihat sedikit pamer. Dan ya kuakui mangsanya kali ini memang cukup menarik daripada sebelumnya. Aku bisa melihat jenis kunci mobilnya yang berputar-putar di jari telunjuk Sela. Sepertinya sejenis BMW. Sudah ku bilang,wanita brengsek ini memang berniat pamer.
“ya jelas jadilah. Dan seperti biasa yang kalah harus membayar seluruh perlengkapan kita untuk liburan ke bali” jelas Soffi ,teman yang masih satu profesi denganku juga.
Sela menyelesaikan makanan yang ada di mulutnya “dan sudah pasti aku tidak akan berada di posisi itu” ia sangat antusias.
Dan itu berarti, kalau aku belum mendapatkan mangsa sampai malam tiba, kemungkinan besar posisi buruk itu akan mengutukku sebagai perempuan yang kurang memiliki daya tarik. Oh dewi fortuna, kumohon malam ini memihaklah padaku.

***

Suara musik bar menyentak-nyentak gendang telingaku. Memang seharusnya tak lagi menjadi masalah untuk perempuan malam sepertiku. Hanya saja kali ini hawanya berbeda. Sampai saat ini aku belum juga mendapatkan mangsa. dan jelaslah, itu membuat aku merasa sangat tersingkir. Sebenarnya tadi aku sudah mendapatkannya, tetapi sayang,bocah itu hanya bermodalkan avanza, dan aku berani bersumpah bahwa itu adalah milik orangtuanya. Dasar remaja tengil.
Sela menepuk bahuku sembari meneguk bir yang ada digenggamannya “bagaimana fa? Sepertinya taruhan kali ini kau yang kalah”
Aku mendelik ke arahnya “tunggulah,sebentar lagi juga dia datang” jawabku menampik pertanyaannya. Entah dia yang manapun aku tidak tahu. Dan yang pasti “dia” yang entah siapa itu memang harus secepatnya kutemukan. Apa jadinya kalau aku kalah taruhan nanti, bukan hanya duit yang terkuras,melainkan mukaku ini juga ikut tertindas.
“permisi,boleh aku duduk disebelahmu?” tanya seorang pria berkemeja liris yang tampak jelas beberapa langkah didepanku. Pandanganku menempel di tubuhnya, menyapunya dari atas hingga bawah. Mataku melebar,sungguh aku ini sedang mimpi atau apa. Tubuhnya sangat tegap bak seorang tentara,dagunya dipagari bulu-bulu kecil,dan bentuk mukanya sedikit kotak. Ah iya, aku ingat. ia mengingatkanku pada vokalis The Script, Danny. Kali ini Aku berani bertaruh kalau ia bukanlah asli orang Indonesia. Dari logatnya pun kurasa semua orang akan setuju padaku.
Aku memasang senyum semanis mungkin di bibirku “oh tentu, silahkan saja” teman-temanku yang keparat itu memasang senyum nakal kearahku. Beberapa dari mereka juga ada yang memasam. Bagus. mereka bisa lihat bahwa mangsaku kali ini bukan lagi sejenis lele ataupun teri. melainkan kakap merah nan besar. oh...dewi fortuna,terima kasih.
“siapa namamu?” tanyanya memulai pembicaraan.
“oh,aku fani,kau?”
“dave”
“kau sendiri saja ?”
“tidak,aku bersamamu”
“oke,itu jawaban yang tepat” ia tertawa. seketika tawaku ikut dibelakangnya. Mungkin ini yang mereka bilang tawa perkenalan.
“kau tak terlihat asli orang sini. Apa ke sok tahu-an ku ini betul?” akhirnya aku memecah rasa penasaranku.
“ya betul. Ayahku Australia”
“dan aku belum bertanya tentang itu” ia tertawa lagi, kali ini terlihat seperti ingin mengalahkan musik DJ yang kencangnya seperti memanggil minta dijamah.
“sepertinya kita harus ikut meramaikan musik ke tengah sana” ia mengulurkan tangannya padaku, dan tentu, dengan senang hati aku meraihnya.
Musik terus berdentum, semakin malam terdengar semakin bingar. Dan tiada waktu yang tidak bisa untuk dijadikan kesempatan. Dengan badan yang meliuk-liuk mengikuti irama musik,dengan sekelebat manusia yang mengimpit-ngimpit. Aku menyapu pelan belakang leher pria berdarah australia itu.
“apa kau besok punya acara?” tanyaku . bibirku tepat beberapa senti di daun telinganya. Hanya tinggal sekali dorong saja, aku yakin bisa meraihnya.
“sepertinya tidak.” Wajahnya semakin mendekat. Sepertinya umpan ku berhasil. ia mengkodeku seperti ingin.
“aku dan teman-temanku akan ke bali besok. Apa kau mau ikut?”
“itu ide yang baik.” Musik semakin membuat setiap kami larut. Botol bir dimejaku telah habis. Dan tentu saja itu bukan botol yang pertama.

***

“jadi kali ini siapa yang kalah? Kalian bisa lihat bukan, ia sangat memesona. dan ya... kalian juga bisa pastikan dari gadget-gadgetnya” aku merapikan kutek baruku. Kali ini aku memilih warna merah setelah biru yang masih berbekas di buku-buku jemariku.
“ya kali ini kau memang beruntung pelacur kecil” Sela mengakui kemenanganku. Soffi memasang muka masam. Sementara Rika memanyunkan bibirnya.
“kayanya itu dirundingkan saja nanti, ini adalah waktunya happy-happy. Dan mereka sudah menunggu kita diluar sedari tadi.” Dalih Rika.
“i love beach like a mybitch. I love you,you,you my bitches” sela tertawa girang sembari menampar pipi kami pelan. Tawanya seakan ingin memecah ombak-ombak pantai.

***

Memencar dengan masing-masing mangsa adalah trik kami. Menyantapnya sampai habis secara perlahan. Dimana bibir adalah pisau. Dan tubuh racun terakhir.
“jadi,sudah berapa jumlah mereka yang kau layani?” tanya pria berdarah australia itu seraya mengambil sebatang rokok yang ia himpit di sela-sela bibirnya.
“aku tak menghitungnya. Mungkin sekitar 15,kenapa bertanya seperti itu?”
“kau cantik,dan menarik. Harusnya kau tidak bekerja seperti ini.” ah,sungguh ini adalah gombalan lelaki pada abad 19. Dan tentu saja ini tak berpengaruh apa-apa padaku.
“dan kau tampan. Mapan pula. harusnya kau tidak duduk dengan wanita sejenis aku”
Ia memasang senyum masam “sejujurnya aku benci kata seharusnya” untuk kesekian kalinya pria itu menghembuskan asap rokok dari mulutnya “tapi,karna kau, aku menyebutnya lagi” ia tertawa di ujung kalimatnya.
“hey aku tak mempan digombal ya, sekalipun kau Adam Levine,atau Danny the script” aku menjulurkan lidah, mengejeknya.
“nampaknya kau wanita yang susah jatuh cinta ya...”
“ah bicara cinta. Cinta itu tidak ada. Bagiku Cinta hanya kata-kata pengindahan,yang suatu waktu bisa berubah. Dan ingat, kita hanya rekan kerja. Tak perlulah bermain pakai cinta.”
“sepertinya kau berbeda dari wanita-wanita sebelumnya yang pernah ku ajak tidur”
“hey, apakah aku kurang jelas? Kau tak lebih tampan dari Adam levine dan Danny. Jadi berhenti menggombaliku.” Kali ini aku tidak lagi menjulurkan lidahku. Agaknya pria ini sedikit berbahaya. Pandangan matanya mempunyai sinar berbeda. Teduh dan memancarkan cahaya. Membuat lawan bicaranya memaku pada satu titik di matanya. Itu artinya,aku harus lebih hati-hati.

***

Mata Pria didepanku ini masih saja menjelajah menu makanan, dari atas hingga bawah,lalu kembali lagi ke atas “Kau pesan apa?” tanyanya tanpa melirik kearahku sedikitpun.
“lemontea sama nasi goreng seafood”
“oke,disamakan saja” katanya pada waiters. Waiters itu menahan tawa saat melihatku terkekeh-kekeh didepan pria berdarah Astralia tersebut. sebentar kemudian ia kembali berlalu menjalankan tugasnya.
“kau daritadi setengah mati mencari menu makanan, dan terakhirnya kau pesan yang sama? sungguh. kau ini bodoh atau apa?” Tawaku semakin pecah. Ia menepuk lenganku. wajahnya terlihat merona. Lebih tepatnya ia sedang menahan malu.
Menunggu pesanan yang belum disaji, aku mengajaknya berkenalan lebih rinci. Pria ini rupanya anak tunggal yang ditinggal cerai orangtuanya. Pantas saja hidupnya tampak semerawut. Dan rupanya ia juga ke Indonesia khusus untuk menemui ibunya. bisa kurasakan,pasti rindunya ke perempuan yang telah melahirkannya itu amatlah menggunung. Untuk jarak Indonesia-Australia, pengorbanan pria ini sungguh menakjubkan.
“Jadi kapan kau pulang ke Australia lagi?”
“aku seorang traveler. seminggu lagi aku berangkat ke thailand. Tak tau kapan ke Australia lagi”
“jadi tempat tinggalmu tak pernah menetap. begitu?”
pria itu menganggukan kepalanya. “pantas kau tak pernah menetap pada satu wanita” kataku menyindir.
“beberapa dari mereka pernah ku seriusi, tapi katanya aku ini diatas normal.” Aku mengernyit, sepertinya pria ini paham benar akan tanda tanya yang menggelayut di wajahku.
“mereka menyebutku Atheis.” Aku tersentak. Dahiku mengerut penasaran.
“kau tak percaya Tuhan?”
“aku bertuhan. hanya saja aku tak berada pada satupun jenis agama.” Dahiku semakin mengerut, Dan rasa penasaran ku pun semakin membubung.
“bukan,aku bukan penyembah pepohonan,jin,atau benda-benda keramat. Kau tak perlu takut begitu. Tuhan ku adalah Tuhanmu. Apapun agamamu,Tuhanmu itu juga Tuhanku. Sebagaimana, Tuhan itu satu. Bukan begitu?”
“apa kau atheis faktor keluarga?” aku masih mengerutkan dahi. Mungkin setelah ini aku akan benar-benar mengerut.
“Ayahku seorang jemaat disalah satu geraja di Australia. Setiap minggu ia tak pernah absen ke gereja. Begitupun ibuku. Dia pemeluk Islam. Memang ,beliau belum mengenakan jilbab,tetapi bisa kupastikan sholatnya hampir tidak pernah tinggal.” Tanda tanya dikepalaku semakin penuh. Sepertinya sebentar lagi ia akan meledak.
“jadi kenapa kau tak mengikuti salah satu dari mereka?”
“sudah kubilang Tuhan itu satu.”
“tetapi dalam hidup kau harus punya pilihan.”
“aku tak memilih salah satu dari mereka,itupun adalah pilihan.” Aku terhenyak. Diamku panjang.
Ia menyesap minumannya sebentar. “mereka bercerai gara-gara perbedaan itu. Mereka berlomba-lomba tentang ajaran siapa yang paling benar. Padahal sudah tertulis di masing-masing kitab, bahwa tuhan itu satu. Apa kau mengerti sekarang?”
“tetapi di dalam yang benar, masih ada yang paling benar. Itu sebabnya mereka berlomba mencari kebenaran tersebut . dan menurutku mereka tak salah. tak ada yang salah di dalam orang yang sedang mencari kebenaran.”
“cerita tentang kepercayaan. sampai pemilik kafe ini mati karna menua pun tak akan pernah kelar Fa. Segala yang ada di dunia itu misteri. Kita pun misteri. Bahkan Tuhan sekalipun.” ya pria ini memang benar, segalanya di dunia ini adalah misteri. Mengapa harus ada pelacur,mengapa aku berada di salah satunya, sepertinya itu juga adalah misteri. Sebab tak ada wanita yang ingin menjadi pelacur.
“omong-omong, wanita sepertimu percaya juga akan agama. Bahkan teramat sangat kulihat.” ia memainkan matanya. kali ini ia meledekku. Ah persetan. Setidaknya biar pekerjaanku seperti ini aku masih punya keyakinan. Sebab aku yakin, tak ada yang lebih menyedihkan dari mereka yang tak bertuhan.
“dari banyaknya wanita-wanita yang tidur denganku, kau sungguh berbeda. Ntah kenapa aku tak melihatmu sebagai seorang wanita penghibur. Bahkan aku tak yakin.”
“ayahku yang sejak lama kuanggap mati, menghamili ibuku dan tak menanggung jawabi perbuatan bejatnya, lelaki yang kucintai selama 5 tahun dan selalu mengumbar cinta padaku menghamili wanita lain. Dan tak lain adalah sahabatku sendiri. ibuku bukan berasal dari keluarga konglomerat. Ia hanya penjual jamu keliling. Sebenarnya aku bisa saja bekerja yang lebih baik daripada ini, tapi siapa yang bisa menduga pikiran orang yang depresi larinya akan kemana? Mungkin ini seperti yang kau bilang tadi. Misteri.”
“mendengar masalahmu aku seperti sedang tertimpa gunung. Berat sekali masalahmu. Apa kau butuh aku membantumu untuk memikulnya bersamaan?” bukannya mengiba,pria ini malah Menggoda. Memang dasar bajingan.
“oh tidak. Kau hanya akan menambah bebanku. Dari hidupmu yang penuh dengan ketidak jelasan,aku sudah bisa membayangkan.” Aku bergurau. Iya tertawa lebar,lalu menjitak telapak tanganku pelan.
“kau akan ikut denganku. kemanapun aku pergi, aku membawamu. ” kali ini ia mengedipkan matanya. rupanya ia tak jera juga menggodaku.
“apa kau tidak ingat bahwa kau bukan Adam levine ataupun Danny the script? Jadi berhentilah menggodaku. Tidak akan mempan.” Dari lubuk hatiku,sejujurnya aku mengharapkannya. Dan entah sejak kapan rasa ini tiba. Mungkin karena sekian lama aku tak menemukan lawan bicara yang asik. sementara ia selalu menghargai setiap apa yang aku bicarakan. Tetapi tidak. Aku tidak mau patah lagi. apalagi aku tau percis, hobbynya adalah main wanita. Sungguh aku tidak boleh menyukai bajingan ini. Tolong anggap dia pelanggan biasa wahai hati keparat. Aku tidak mau patah lagi. sungguh,jangan menyusahkan.

***

Aku membalut badanku dengan kain sutra yang terawang. Warna hitam memanglah warna yang paling eksotis untuk menaklukan lawan. ditambah dengan bibir yang sedikit kemerahan dan rambut yang terurai berantakan. Kalau sudah seperti ini, aku yakin pria manapun pasti tidak akan berniat punya iman untuk beberapa jam kedepan. Termasuk pria berdarah australia yang baru saja menuang bir ke dalam gelasnya.
“ini tuangan bir yang keberapa?” tanyaku berbisik tepat beberapa senti ditelinganya.
sudah kuduga. matanya membelalak,mulutnya sedikit menganga,tubuhnya berjeda seketika “kau...kau sungguh cantik, bahkan tak hanya cantik.” Ia tergagap. Sepertinya pria ini sudah tak lagi berdaya.
Aku membuat garis tipis dibibirku membentuk senyuman. kali ini aku yakin bahwa ia sudah tenggelam. Mungkinpun sudah sampai dasar. Sekarang saatnya memainkan jurus keduaku setelah tersenyum kubuat sebagai jurus pertama. Tanpa basa-basi, aku menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. kutautkan lenganku pada lehernya yang jenjang. ku sapu-sapu dadanya perlahan hingga ia terangsang. Dan tentu saja, ia langsung membalikkan tubuhku keposisinya barusan. Sekarang kami bertukar. ia berada diatas dan aku tepat dibawah nafasnya. Ia mengendus-ngendus leherku dan aku memainkan jemariku ke wajahnya yang kotak. Kali ini wajah itu mendekat, ia memagut bibirku secara perlahan. Aku bisa merasakan bibirnya yang sedikit tebal mendarat dengan lembut di bibirku. Seperkian detik ia menariknya lagi, lalu menatap mataku penuh dengan keinginan. Ah, ia lah teman tidurku yang paling aku nikmati. Setiap sentuhannya adalah sensasi, setiap hembusan nafasnya yang menempel di kulitku adalah energi yang tak kutau efeknya akan masuk ke hati. ya mungkin ini maksud dari menikmati. Bermain pakai hati. ah sial! Mengapa jadi aku yang terjerat?
jemari pria ini mulai menyingkirkan tali hitam yang menempel dibahuku. Bibirnya menjelajah kesana. aku mengerjap-ngerjapkan mataku menikmatinya. Sepertinya favoritnya adalah bagian leher. Sebab ia tak pernah sebentar disana.
“sepertinya aku menaruh cinta padamu.” Bisiknya tiba-tiba. Aku pura-pura tak mempedulikannya. Meski kurasa hatiku berkata sama. lelaki itu melepas ciumannya. Kali ini ia menatapku serius. Sekali lagi, aku tetap pura-pura tidak mempedulikannya.
“berhenti! Aku benar-benar jatuh cinta padamu. Dan kau bukan pelacur bagiku.” sekejab tubuhnya menjauh dari tubuhku. Kini kepura-puraanku tidak bisa kulanjutkan lagi.
“percayalah. Kata-katamu itu akan berubah di kemudian hari.” aku menepis.
Ia menarik tanganku mendekati tubuhnya “berhenti berpikiran aku sama dengan lelaki-lelaki yang ada dihidupmu dulu. apapun yang kau minta untuk aku membuktikannya, bilanglah. Aku sungguh-sungguh.”
“aku seorang pelacur, kau bisa cari yang lebih baik. Apalagi kau seorang traveler.”
“justru karna kau seorang pelacur. Kau tak pantas terus berada di keadaan seperti ini. hiduplah denganku. Sungguh,kutukan akan datang padaku jika aku menyia-nyiakanmu.”
Seketika keadaan menegang,hawapun menjadi dingin bak secangkir teh yang tertimpa batu es besar. “besok adalah terakhir kita di bali, beri aku waktu memikirkannya sampai besok ya.” tuntasku menutup ketegangan. Pria itu menunduk. Wajahnya tampak kecewa. Setelah itu kehangatan tak lagi ada. tiba-tiba aku merasa seperti nenek tua yang tengah berada pada masa kadaluarsa. Seketika Ia tak menyentuhku lagi. Tak sedikitpun

***

Semua barang sudah selesai disusun. Aku dan para teman-teman jalangku duduk di sebuah cafe sembari menunggu para lelaki itu bersiap-siap mengurus kepulangan kami.
“hey para bitches, bagaimana dengan mangsa kalian. Adakah hal yang lucu ketika kalian menjeratnya?” Sela bersuara duluan seperti biasa.
“dia tidak pandai memberikan ciuman yang hebat.” jawab Rika.
“aku cukup puas.” Sambarku. Iya. cukup adalah kata yang paling tepat, sebab kami berhenti pada kenikmatan yang hampir mencapai puncak. Dan kurang ,tidak adil buat dia yang telah membuatku terbius hingga kepayang.
“dan,aku pura-pura orgasme karna permainan si bodoh itu sangat buruk.” Kali ini Soffi yang menyambung. Ia memanyun.
Kami tertawa sampai terbahak. Beberapa pengunjung cafe menoleh ke arah kami. Dan seperti biasa ,kami tak pernah menghiraukan siapapun di sekitar kami. “sungguh itu hal konyol! Nanti kuhadiahkan dia buku bermain dengan baik” Sela mencibir. Kami kembali tertawa memecah suasana cafe yang dimana para pengunjungnya,lebih pantas untuk dijadikan patung.

***

jakarta tampak mendung. Padahal pesawat kami baru saja mendarat. Melihat kondisi langit,kecil kemungkinan untuk hujan tidak jadi datang.
“kau membawa payung?” pria itu hampir saja menjatuhkan jantungku dengan menepukkan sebelah tangannya kepundakku.
“oh tidak...”
“apa kita akan berpisah disini?”
“ya,sepertinya begitu.”
“apa kita akan bertemu lagi?”
“ya itu bagaimana denganmu,kau tinggal datang ke tempat awal kau menemukanku.”
“maksudku,apa kau akan ikut denganku seperti apa yang kutanyakan pada malam itu?”
Mendadak dadaku tersedak ,lidahku mengelu. Memikirkan hal ini,kurasa 24 jam pun, belum tentu cukup untukku. Berada dalam kebimbangan memanglah hal yang paling sulit untuk dijabarkan. Apalah lagi ditodong dengan pertanyaan. perihal cinta,sepertinya aku memang tidak pernah siap. Mungkin lebih tepatnya tidak pernah ingin. “maaf aku tidak bisa. Percayalah kata-katamu akan secepatnya berubah saat kau sudah tak lagi berada di Indonesia.” Hatiku menciut. Setelah ini pasti ia akan uring-uringan.
“kuakui aku memang sudah tidur dengan banyak wanita. Tapi ini jatuh cinta. Beda perkara. Apapun demi kau menemani hidupku, akan aku lakukan fa. Kumohon Percayalah.
mataku memberat. Sepertinya air yang terbendung didalamnya kian memberontak. “untuk seorang pelancong sepertimu,dan untuk orang yang berprofesi seperti aku. percayalah bahwa cinta tidak pernah ada .maafkan aku dave. Aku tidak bisa.” Aku menghela napas panjang. Kali ini aku mengigiti bibir bawahku dalam-dalam. Memawangi, agar hujan dari mataku tidak jadi datang.
“baiklah aku tidak akan memaksa. terima kasih telah membuatku jatuh cinta. Kau tahu,dengan aku jatuh cinta, kau telah mengingatkanku akan caranya melindungi wanita.” Ia menghela napas sebentar “Oh ya Fa, besok aku sudah tak lagi di Indonesia. Mungkin ini bisa jadi hari terakhir kita berjumpa.”
“kuharap tidak. Kuharap aku bisa bertemu lagi denganmu.” Pria itu melayangkan tangannya ke rambutku, ia menyapunya sambil tersenyum seakan menyetujui permintaanku. setelah itu,kakinya bergerak menjauhi tubuhku kearah taksi. seketika, ia menghamburkan tubuhnya ke dalam mobil sedan berargo itu. Ia membuka setengah kaca jendelanya. Tangannya melambai-lambai diambang jendela menujuku. Dengan hati yang berat,aku memaksa bibirku untuk tersenyum seraya menahan air dimataku yang sudah memaksa untuk jatuh. sekejab saja mobil itu langsung melesat. Lengan pria didalamnyapun mengecil dan tenggelam. Aku menitik. Seketika hujan datang mengasihaniku. Hujan menyambut kesedihanku. Ia berkonspirasi dengan hatiku. Kini aku bebas menitik.

***

Apa waktu sudah berputar? mengapa aku masih tetap pada satu keadaan. Tak mundur,dan tak maju. Memaku, memangku rindu. Ah pria Australia itu sepertinya memeletku dari tempat tinggalnya yang ntah berantah. Sejak ia menguap dari Indonesia, waktuku seperti di hentikannya khusus untuk ia berlari-lari di dalam kepalaku.
“sudah kubilang jangan jatuh cinta. Pesta dibali semalam harusnya kau yang kalah. Sebab kau dikelabuhi,bukan mengelabuhi.” Kali ke-sepuluhnya sela berhasil menebak isi kepalaku.
“kami sama-sama mengelabuhui kok.” Aku menampik.
“dasar pelacur bodoh. Jangan harap wanita seperti kita itu ada yang menyeriusi. Kita itu hanya untuk dinikmati. Berhenti bermimpi!”
“ ya jangan bermimpi! Aku setuju dengan Sela.” Rika ikut menimpali. Tak lama kemudian Soffi mengangguk-ngangguk menaruh tambahan point untuk Sela.
“ingat ini sudah setengah tahun berlalu dan kau masih mengharapkannya? Dasar pelacur bodoh.” Sela menghujatku habis-habisan. Ya aku sadar niatnya memang untuk menyadarkanku. Tapi bibirnya memanglah bibir wanita-wanita pencibir. Yang mana, ia mau bicara apapun tetap saja terdengar ketus dan culas.
“oh ya mybitches...bagaimana kalau kita mengadakan taruhan lagi? sudah setengah tahun dan memang sepertinya teman kita ini butuh hiburan dan move-on.” Soffi mengusul. Tumben wanita ini tanggap. Seketika Rika dan Sela mengangguk cepat. Mata mereka benderang. Untuk masalah taruhan,kami memang tidak pernah tidak antusias.
“oke...kali ini liburannya ke Singapore. Bagaimana? Siap untuk kalah?” Rika menantang. kami mengangguk serempak. Sela dan Soffi tampak semarak ,namun aku sekedarnya.

***

“kali ini aku dapat ikan salmon yang paling lezat.” Lagi-lagi sela memandu dalam taruhan kali ini.
Rika tampak penasaran. “wow!! Apa seorang pengusaha?” kepalaku masih menunduk. Lagi-lagi aku belum menemukan mangsa. dan ntah mengapa kali ini aku benar-benar tak bersemangat. Ah persetan.Aku merindukan pria yang seharusnya sudah jadi milikku. ternyata benar kata dia. “seharusnya” kata ini memang menyebalkan,hanya membuatku berandai-andai.
“anak pejabat bitches.. sepertinya aku memang ditakdirkan sebagai pemenang.” Sela terkikik.
“sial! Dasar bitch!” Soffi mencibir.
“aku menyerah. Aku mau besok kita sudah berada di Singapore.” Lenguh dan pasrah. Beginilah keadaan seorang yang ditinggal cintanya.
Teman-temanku membelalak. Mereka setengah tak yakin dan setengah mengerti, bahwa aku memang sedang benar-benar patah hati.
“ah kau ini payah sekali. belum juga diusahakan. tapi yasudahlah. Yang penting kita liburan. Capai juga bermain dengan ranjang dan lele-lele tua.” Kali ini mulailah sela membuka layanan C3. Curhat,cibir,sampai capai. Aku kembali mematung. Ntah kenapa belakangan ini aku tak bisa baur.

***

Kepala Singa memanglah pahatan yang tidak asing lagi bagi setiap manusia yang pernah melabuhkan dirinya ke Singapore. Kali ini aku tak berdampingan dengan sesiapa. Dan ini kali pertamanya aku tak kisruh perkara aura-aura kecantikan tak nampak,atau tak berdaya tarik atau apalah itu. Ah aku tak peduli. Kini Aku ingin benar-benar menikmati kesendirian. tanpa melayani siapapun. Masa bodo lah dengan teman-temanku yang bercumbu didepanku. Hal seperti itu sudah penuh dalam rekaman lensaku.
Menjelang senja,rupanya Singapore tampak semakin indah. warna jingga menaungi seluruh bangunan-bangunan di kota yang namanya serupa dengan negaranya itu ; Singapore. Beberapa burung tampak akan pulang kembali kesangkarnya. Ah,sepasang burung merpati memang selalu berhasil membuat manusia terperangah iri kepadanya. Kemanapun betinanya ,sang jantan pasti mendampinginya. Kemanapun. Seketika aku ingin menjadi merpati. Capai juga hidup sendiri tanpa ada yang menjaga,mengasihi dan menyayangi. Sekajap aku teringat pria Australia yang tak pernah melesat dari pikiranku itu. Kira-kira apakah dia sudah berkeluarga? Terlintas pertanyaan gila ini dalam kepalaku. Jika sudah,sepertinya menjadi pendonor jantung adalah cara mati yang paling mulia.
“hay jangan melamun.” Seorang perawakan besar menepuk pundakku pelan. Aku terkejut sebentar. Ku perhatikan dari wajahnya,sepertinya ia tampak asli berkebangsaan Singapore.
“kulihat kau dari tadi melamun saja. aku Dyas. apa kau wisatawan?” tanyanya yang masih menyadarkan lamunanku.
“Fani. Iya aku wisatawan. Kau asli orang kota ini?” kataku bertukar pertanyaan.
“iya,aku lahir disini dan sampai sekarangpun tetap menetap disini. apa kau sendiri saja?”
“tidak. Aku bersama teman-temanku. Hanya saja mereka sedang sibuk dengan dirinya masing-masing. biasalah, namanya wisatawan.”
Pria berbadan besar ini tampak hangat. Ia bercakap seakan bersenandung. Suaranya tidak sama sekali jelek. Sepintas terdengar mirip Glen Fredly, salah satu penyanyi favorit di Negeriku,Indonesia.
“oh kalau begitu mari mampir ketoko ku. Disana kau bebas memilih kue apa saja yang kau ingin. Hanya dua puluh langkah dari sini kok.” ia menjulurkan tangannya seraya mengacungkan jari telunjuknya ke arah pandang mataku. “nah,kau bisa lihat jendela coklat itu. Ya disitulah toko kecilku.”
“oh boleh. Kebetulan aku belum makan dari siang tadi.” Sepanjang jalan hingga kue sudah dihidangkan,pria ini menemaniku berbicara. Ia adalah pemilik toko ini rupanya. Asistennya sudah dua pula. ah pengusaha muda. mungkinkah aku menggaitnya? ‘halo dyas,pekerjaan ku adalah sebagai penghibur,apa kau ingin?’ oh sungguh ini kalimat menjijikan. Tidak! Setidaknya di negara orang aku harus menjadi wanita yang dipandang baik. Persetan dengan pekerjaan. Tohnya aku liburan memang niatnya untuk menikmati kesendirianku.
“lain kali mampir lah lagi kesini. Untuk wisatawan asia aku selalu memberi diskon.” Ia menggurau. Untuk pria sehangat dia,sepertinya wanita manapun akan betah berada disampingnya. Terutama menjadi sahabatnya. aku melempar senyum sehangat mungkin kepadanya. Seakan besok aku akan benar-benar kembali ke tokonnya.

***

langit telah menghitam. Lampu-lampu berpaparan menyirami ruas-ruas jalan. ini adalah kali pertamanya aku bermalam di kota orang seorang diri. ya beberapa tahun sebelumnya,berdua. Dengan pelangganku tentunya. aku ingat betul. Kala itu aku masihlah pemula. Itu adalah kali pertamanya aku memenangkan taruhan dengan mendapatkan pengusaha muda. Ryan, ah aku pernah menaruh cinta sepertinya dengan pria itu dulu. pengusaha muda yang jemarinya sangatlah pandai menari-nari diatas senar gitar. Entah aku sekedar kagum atau jatuh cinta padanya saat itu. Namun yang jelas aku sempat merasa kehilangan sosoknya semenjak ia berpindah kota. Akan tetapi tetap saja tak semerana dengan aku kehilangan Dave. Sial! pria itu memang selalu ikut campur dalam bagian cerita manapun.
kali ini kakiku membawaku ke dasar kota. Beberapa tempat terlihat ramai. Namun dari semuanya ada satu tempat yang paling ramai. Kebanyakan mereka sedang bersorak-sorai. Bukan. itu bukanlah perkelahian adu domba atau pencurian yang tertangkap basah. Aku bisa mendengar bunyi suara petikan gitar yang berpusat dari sana. sepertinya itu pertunjukan band atau sejenisnya.
Didalam kesendirian yang tak bertujuan, aku membaurkan tubuhku kesana. kebanyakan pengunjungnya seperti telah saling mengenal. Sepertinya acara ini tidak baru sekali diadakan. melainkan sudah berulang-kali.
“hay,wanita asia...” Dyas. pria yang satu-satunya orang yang ku kenal di negara asing ini. itupun baru saja terjadi beberapa jam sebelumnya. Dia disini juga rupanya.
“oh ya,kau masih saja mengenaliku.”
“tentu. Lihatlah bajumu. Kau belum menggantinya.” Ia terkekeh setengah meledek.
“oh ya...aku belum sempat pulang ke hotel sedari tadi. Kau sendiri saja?”
“tidak. Teman-temanku banyak disini. ini adalah festival musik yang hampir setiap bulannya di gelar disini.”
“oh begitu ya... keren juga. apa kau datang sendiri ke acara ini?”
“tidak. Setelah kau mampir ke toko rotiku, teman ku david baru saja sampai ditokoku. Oh iya,dia juga wisatawan sepertimu. Hampir satu tahun kami tak berjumpa. Anak itu kerjanya jalan-jalan saja. omong-omong mari kita duduk di sana” pria itu melayangkan jarinya ke arah belakang panggung. “disini terlalu berisik.” Ia beralasan.
Seperti awal berjumpa, pria perawakan besar ini memang sangat asik di ajak bercerita. sedari tadi kami bertukar cerita tentang negeri yang kami junjung tinggi. Tentunya negeri tempat masing-masing kami dilahirkan dan dibesarkan. Indonesia dan Singapore. cerita itu rupanya semakin melebar dan menjadi percakapan yang meyerukan.
“Yas... Yas...” suara seorang lelaki memanggil-manggil nama Dyas dengan berat. Asal suaranya terdengar tepat di belakang punggungku. Dyas yang berada di depan mukaku tersenyum meriah menyambut kawannya itu. Aku menoleh kebelakang penasaran.
Sekejab suara musik berhenti ditelingaku. Ya hanya di telingaku. Dengan mereka,aku tidak tahu. Aku menepuk pipiku keras. Kuharap aku sedang tidak bermimpi.
“Fa...kau kah itu?” mata pria itu membelalak. Tubuhnya tampak menegang.
“da..dave?”aku tergagap, dan tak kalah tegang.
“ah...kalian saling mengenal?” Dyas menyambar. Memecah ketegangan diantara kami.
aku menjawab pertanyaan Dyas. “iya ,sepertinya aku masih mengenal”
“ah Fa, berarti kau hampir melupakanku? Kejam sekali.” pria yang telah lama kurindu itu memelas .
Dyas mengambil inisiatif “ya...ya...ya... tampaknya dulu kalian sempat saling dekat. Biarkan aku pergi sebentar untuk kalian melepas kerinduan ya.” pria berbadan besar itu memang pandai mengartikan situasi. Aku dan Dave tersipu.
Pria itu masih menatapku setengah tak percaya. matanya teramat cerlang, seperti baru saja memenangkan taruhan dolar. Tampaknya akupun demikian.
“fa...oh tuhan. sungguh aku tak percaya bisa bertemu denganmu disini. kau harus tau,kalau aku terus merindukanmu.”
“ah kau ini. apa kau tak ingat kau itu tak lebih tampan dar...”
Dave menyerobot kalimatku “Adam levine dan Danny the script aktor favoritmu? Ah persetan! Akulah yang sekarang berada dihadapanmu. Dan jangan lagi bilang ini gombalan. Kumohon.”
Aku terkekeh “kau masih ingat saja. namamu David? Aku baru tahu.”
“iya. Hanya aku lebih suka dipanggil Dave. Kedengarannya lebih ringan.”
“eh iya... omong-omong apa hidupmu masih penuh dengan ketidak-jelasan?” aku meledek.Pria itu tertawa besar.
“ketidak-jelasan yang mana?” tanyanya setelah tawanya mereda.
“pekerjaanmu,agamamu dan... wanitamu.”aku tergagap di ujung kalimatku. Jantungku bergetar-getar. aku menyiapkan tempatnya untuk terjatuh kalau-kalau aku mendengar pria ini sudah melepas masa lajangnya.
“sialan! Kau masih mempersoalkan itu rupanya. Pekerjaan ku masih tetap. Agama... ah aku belum mengerti. Oh ya...wanita... belum. Habis,kau tak mau denganku.” Aku menghembuskan napas panjang. akhirnya aku masih punya kesempatan. Batinku. Mendadak pria itu menajamkan matanya kearahku. “dan bagaimana denganmu? Apa kau sudah berkeluarga?”
“tidak... aku menunggumu.” Aku tergagap. Sepertinya hatiku sudah tak tahan untuk terus menahan rindu dan kepastian lebih lama lagi. ia ingin benar-benar dimiliki rupanya.
“Fa... aku berharap itu tadi bukanlah gurauan. Sungguh tidak lucu Fa.”
“aku menunggumu Dave... setiap hari. aku tak ingin berbohong lagi.” Dave tercengang. Pria itu menatapku dalam-dalam “Dave,aku jatuh cinta padamu. Sejak kau meninggalkanku,aku merasa kehilangan.”
Sekejab Pria berdarah Australia itu mendekapku. “Fa,kau harus tau. setelah aku meninggalkan Indonesia,aku tak lagi tertarik bermain wanita. Pikiran dan hatiku berkonspirasi untuk selalu memikirkanmu.” Ungkapnya berbisik. “kau merubahku Fa.” Pria itu masih mendekapku. Kali ini lebih erat.
“apa kau akan melamarku?” aku melepaskan tangannya yang memagari tubuhku secara perlahan. Sekarang jemarinya mengambil daguku. Menengadahkannya ke wajahnya yang lebih tinggi diatasku beberapa inci.
“tentu. Secepatnya aku akan melamarmu.” Katanya menatapku dalam.
“tapi aku tak siap dengan keluargamu. Kau tahu profesikukan?”
Pria itu tersenyum sebentar “apa bedanya kau dengan aku fa? sebelum bertemu denganmu ,aku adalah pria tukang sewa perempuan. Kedua orang-tuaku juga mengetahuinya. Semenjak mereka berpisah, semuanya berantakan. Aku tak pernah ingin tinggal satu atap dengan salah satu dari mereka. Itulah sebabnya aku memilih menjadi traveler. Dan itu juga sebabnya aku menenggelamkan emosiku dengan sex bebas. Lagipun setelah aku menjelang dewasa, aku sudah dibebaskan untuk menentukan pilihanku sendiri.” aku mematung sebentar. rupanya pria dihadapanku ini juga punya problema yang amatlah berat. tak salah bila terkadang aku memandanginya seperti aku bercermin. Ah iya…mungkin disinilah Tuhan menyadarkanku bahwa sesungguhnya aku tak sendiri. Dave pun demikian. Mungkin pula inilah jawaban atas ketidak-adilan yang selalu aku rengekkan padaNya.
Sebelum memulai bicara,Aku menghela napas panjang. “tapi aku juga tak mau jadi Atheis. Agama adalah pegangan dan aturan hidup Dave. Kau tidak bisa membuat aturan hidup sendiri. masalah kedua orang-tuamu,jika menurutmu mereka salah,cobalah kau perbaiki letak kesalahannya dalam dirimu. Sebagaimana Tuhan itu satu, ajarannya selalu benar. Kau hanya perlu mencari letak ketenangan dan kesiapan untuk menjalani dan memeluk salah satunya.” Dadaku melebar seketika, akhirnya apa yang bergejolak di dadaku keluar juga.
“aku tak meyuruhmu menjadi sepertiku. Tidak sama sekali” Ia menekan kata-katanya. Nadanya terdengar berat seperti sedang menahan emosi.
“Kau akan manjadi kepala keluarga Dave. Tentu saja kau yang akan membimbing aku nantinya.” aku menghela napas. Mengatur jeda sebentar. “aku tak menyuruhmu untuk masuk ke dalam ajaranku. Aku hanya ingin kau lebih jelas. Tentu kau tak bisa selalu membenarkan aturanmu sendiri. kau adalah manusia. Tempatnya kesalahan bersarang. Percayalah dave,setelah kau menemukannya, kau akan lebih tenang.”
Pria ini menundukan kepalanya. Aku berdoa supaya kali ini hatinya terbuka.
“fa...” ia memanggilku lenguh. Setelah beberapa menit aku dibuatnya mematung. “bantu aku menemukan kemana hatiku akan berlabuh di antara ajarannya. Dimana hatiku akan tenang disana. kau benar. Aku adalah gudangnya kesalahan. Aku mencoba menyelamatkan Tuhan dengan logikaku sendiri. namun pada akhirnya,aku tak betul-betul tahu arah pikiranku membawaku kemana. Mungkin benar kata mereka. Aku ini sesat.” aku terenyuh. Segaris senyum menyimpul dari bibirku dengan sendirinya. seketika air mataku turun menyusulnya. Sungguh ini adalah bahagia yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
“tentu dave,dengan lapang hati aku akan membantumu.” senyumku semakin melebar,sepertinya garis itu akan abadi di wajahku. “sesat kurang tepat Dave,mereka salah. kau hanya tersesat. tersesat karna benturan dari perceraian orang tuamu. Aku bisa merasakan itu.” Sekejab ,tangan pria ini telah memagari tubuhku. Di tengah keharuan,ia berkelakar. “kurasa aku sudah terlalu letih mencari-Nya dalam hidupku fa. Itulah sebabnya Ia mengirimkan iblis berhati malaikat seperimu.” Aku mencubit lengannya yang padat. tawaku meluap di dadanya yang masih bernaung dalam dekapanku.
“setelah ini aku akan pensiun menjadi iblis Dave. Tampaknya aku lebih cocok menjadi malaikat. Bukan begitu?” Ia Mendaratkan bibirnya ke dahiku. Menciumku penuh dengan ketulusan. Dengan mantap ia mengangguk kepalanya. Dan tanpa keraguan lagi, aku memeluknya.

***

*enam bulan kemudian*
“dave kini kusadar,Tuhan memang tidak pernah tega membiarkan umatnya sendirian.”
“fa,akhirnya aku percaya bahwa Ia memang akan mengirimkan bidadari yang akan selalu melindungi dan menyadarkan lelakinya.”
“apa kau sedang menggombal dave?”
“ah kau ini. Kau masih memperkirakan aku dengan adam levine dan danny the script? sekarang kau yang tidak akan mempan untuk menyuruhku berhenti menggodamu fa. Sekarang pangkatku sudah menjadi suami. Kau tidak bisa macam-macam.”
Dave menjitak kepalaku pelan. Aku mencubiti perutnya. Suamiku ini tertawa terpingkal-pingkal. Ya bagian perut adalah kelemahannya. Itu kuketahui ketika aku mencumbunya di malam pertama.
Kini kusadari pada Akhirnya kebahagiaan akan datang tepat pada waktunya. Dimana mengeluh dan menyalahkan-Nya hanyalah mengakrabkanku dengan kesia-siaan. Dave merubahku menjadi sosok wanita yang paling dihargai. bukan hanya sekedar dengan materi seperti pekerjaan di masalaluku. ya... setidaknya menurutku begitu. Dan akhirnya aku berhasil membantu priaku menemukan tempatnya bernaung di dalam satu keyakinan yang membuatnya merasa nyaman. Dan itu barusan saja ia katakan. kejelasan memang akan selalu membuat dada melebar. Namun sayang. hal itu belum terjadi pada tempatku tinggal. Pria ini masih saja bersikeras dengan pekerjaannya menjadi pelancong. Sehingga terkadang aku lupa kalau aku ini berkebangsaan Indonesia. Seperti sekarang,kami berada di China. Dan sebulan yang lalu di Kanada. Bulan depan entahlah dimana. Namun kuakui,nomaden adalah hal yang mengasyikkan. Aku tidak hanya tahu,namun mengenal apa saja ragam,bahasa dan ciri dari sebentar-sebentar tempatku tinggal.