favorit cartoon

favorit cartoon
permen itu penuh rasa...

Sabtu, 18 Oktober 2014

Sepatu Merah



Seperti biasa,mataku terbit lebih dulu dari pagi yang masih kelam,sekalipun malam sudah selesai. Kurasa matahari perlu membuka matanya supaya memberi kesaksian bahwa pagi telah berjalan. Aku mengisi bloknot ku dengan tulisan yang entah apa. Ya... itulah kebiasaan ku kalau sedang menunggu. kertas dan tinta kawan yang cukup baik dalam hal menunggu. sekalipun aku hanya terus menulis kata rindu saja ditubuh kertas. Rindu yang seratus kali disana, atau bahkan sudah beribu kali jika kugali helai-helai sebelumnya. Sudah dua jam aku menunggu bunyi sepatu ber-hak tingginya itu bersenandung dengan lantai. Bunyi yang bagiku adalah setengah dari jiwaku yang hilang. Ayah masih terpejam. Kupikir ia sedang bermimpi membopong atau dibopong tujuh bidadari. Entah bidadari berselendang dari khayangan atau bidadari dari neraka. Eh memangnya ada bidadari dari neraka? 

Mataku mengarah ke jam dinding yang bertengger di meja belajarku. Sudah hampir pukul lima. Adzan akan segera berkumandang. Namun mengapa suara “tuktuktuk” sepatunya tak juga dapat kudengar? Padahal aku menunggu sudah hampir tiga jam. Malah bukan tiga jam lagi kalau kuhitung-hitung dengan pagi yang kemarin dan kemarinnya lagi. Tunggu,biar kuhitung... oh aku sudah menunggunya selama 2490 jam. itu barusan ku hitung dengan kalkulator handphoneku. Aku heran kenapa ia tak jua datang? Memangnya aku salah apa sampai sebegitunya? Apa ia tak rindu kepada gadisnya ini? Aku menulis kembali ‘rindu’ besar-besar dibloknot ku. Sekalipun masih kalah besar dengan skala rinduku yang sebenarnya.

“emily... bangunǃ” Itu suara ayahku. Harusnya aku yang teriak begitu.
“sudah bangun ayah.”
“cepat mandi,nanti kau terlambat lagi.”
“aku tak pernah terlambat. Ayah yang selalu begitu.”
“jangan membantah emily. Lekas siap-siap.”
 
Topi upacara sudah, dasiku...ya lumayan rapi. Meskipun masih lebih rapi kalau wanita yang selalu kutunggui setiap pagi buta itu yang memakaikannya. Wanita yang selalu memakai sepatu ber-hak tinggi berwarna merah dengan bunyi gemeletuk gigi. Aku berjalan menuju teras. Ayah belum juga siap.  Selalu begitu.
Suara kenop pintu terdengar dari kamar ayah “ayo cepat emily. Ayah sudah menunggu di teras.” Lagi-lagi ia sok paling benar. Padahal ia masih di ruang tamu sibuk dengan dasinya.
Sebelum ayah sampai ke teras, aku lebih dulu memunculkan tubuhku ke ambang pintu. Dengan nada malas aku menjawab “aku sudah lebih dari 15 menit di teras ayah.”
Ayah terkejut sekejap. matanya menggambarkan sedikit malu di wajahnya. “oke... maafkan ayah.”
 Sudah kumaafkan dengan sekali anggukan.

 ***
Pelajaran hari ini sangat membosankan. aku mencampakan tas ku ke tempat tidurku yang berbentuk persegi panjang. badanku menyusul ambruk setelah bunyi gedebuk tas ku. Aku berbaring ditempat tidurku,sesekali menggeliat tak tau mau ngapain. Seharusnya aku ada kelas menari hari ini. tapi sudah hampir tiga bulan semenjak wanita yang selalu ku rindui itu pergi ayah melarangku menari lagi. 

“ibumu itu menjadi liar. Dan itu ku ketahui semenjak ia ikut menari sewaktu SMA. Semenjak ia meraih juara satu dari hampir seluruh SMA di jakarta. Sejak itu lah bubung kecintaannya pada tari. Makanya ia memilih jadi penari saja daripada repot-repot kuliah. aku tak mau kau seperti ibumu emily. Aku mau kau menjadi wanita karir. Mereka selalu tampak anggun dan cerdas. Begitulah nanti kau anakku.” Begitulah ayah berkilah setelah seminggu ibu pergi. Oh iya, dia; wanita yang sangat kucintai dan selalu kutunggui itu adalah penari. penari yang sangat profesional tentunya. makanya ayah bilang ia mendapat juara satu. makanya pula ia menjadi guru tari di salah satu sanggar termashyur di jakarta. Ibu memang sedikit bandal, tapi sungguh ia tidak liar. ayah saja yang mungkin kurang pengertian. Pekerjaan lah yang menuntutnya selalu pulang di pagi yang masih dini. Ia harus melatih murid-muridnya pada malam hari. Sebab dipagi yang sudah lumayan cerah, ia harus menyusun bukuku,menyiapkan sarapan ku dengan ayah dan mengepang rambutku. sekarang, semenjak ia pergi tak ada lagi yang mengepang rambutku. Dijah pembantuku itu sangat payah untuk urusan tata rias. Ayah apalagi. Ia tak tau apa-apa tentang penampilan perempuan. mungkin itulah sebabnya ia tidak cantik.

Ah aku suntuk sekali di kamar ini. Bagaimana kalau melompat ke kamar ayah? siapa tau disana kutemukan ibu sedang terpulas di tempat tidur. dan karna terlalu capai tiga bulan bepergian,ia lupa mengabariku bahwa ia sudah pulang. Oh ya ampun... harapanku untuk ia kembali datang memang tak pernah sirna. Aku memang sangat rindu sekali padanya. Anak mana coba yang tak rindu ditinggal pergi selama tiga bulan? kurasa sekalipun ia anak durhaka, ia tak mungkin tak rindu pada wanita yang rela mati meminjamkan rahimnya.
Aku sudah sampai di depan kamar ayah. Sudah bertatap muka dengan pintunya. Kulihat Dijah di teras rumah sedang menelepon Djoko pacarnya dikampung. Inisial nama mereka sama-sama D. Mungkin mereka memang berjodoh. Ah masa bodo. Daun pintu sudah kugamit. Segera kutekan dan pintupun terbuka. Wangi kamar ayah masih seperti dulu. parfum yang beraroma buah-buahan segar milik ibu masih rela menebarkan wanginya ke ruangan yang berbentuk kubus ini. parfum itu seakan melambangkan hati ibu. Yang mana ia tampak menghilang, namun hatinya tetap tinggal. 

Gambar dengan pose tersenyum itu masih saja terbungkus bingkai. Gambarku,ayah dan ibu tentunya. diambil ketika usiaku bertambah menjadi delapan. Sekarang aku sudah dua belas. Empat tahun yang lalu tepatnya saat aku kelas tiga SD. Mereka menghadiahkanku liburan ke pantai. Dan gambar itu diambil tepat di villanya. Saat menjelang makan malam kalau tak salah. Ah aku ingin ke delapan tahun lagi kalau saja Tuhan jadi mengirimkan mesin waktu seperti di kartun kesukaanku doraemon. Tapi sepertinya Tuhan belum mau. Aku membuka laci lemari ayah. Parfum ibu bernaung disitu. Aksesoris ibu pun juga. kurasa ibu tak keberatan kalau aku menjajal satu demi satu koleksinya. Gelang,kalung,belt. Oh anting tak bisa kupakai. Lubang tindik di kupingku sudah tertutup. Mungkin angin terlalu sering lewat disana.

Lemari ayah tak serumit ini dalamnya sewaktu ada ibu. Baju-baju tak tumbang dan membaur kesana-kemari. Dari lemari saja sudah jelas kalau lelaki memang hampir tak bisa hidup tanpa wanitanya. Dan aku tahu ayah memendamnya. Makanya belakangan ini ia sering marah-marah tidak jelas. Aku tak merapikan lemari ayah. Takut-takut ia mengomel kalau aku masuk ke kamarnya dan membuka lemari tanpa sepengetahuannya. Tak banyak yang berubah dari kamar ayah. Kecuali lemari tua yang berantakan ini. ah kurasa sudah cukup. aku harus kembali ke kamarku. 

“duuug”

Kakiku menendang kotak sepatu dari kolong kaki meja rias ibu. Karna penasaran aku segera membukanya dengan terburu-buru. Namun, rupanya rasa penasaranku menyebabkan mataku terbelalak,dadaku seperti berpindah keperut. Sepatu itu membuatku terkejut. Sepatu merah dengan tinggi sekitar lima centi. Sepatu yang selalu kutunggui bunyi “tuktuktuk” nya. Mataku terasa perih. rasanya seperti ingin mengeluarkan hujan. Aku terlalu dan teramat sangat merindui ibuku. Sepatu itu tak bersamanya dan itu membuat dadaku ingin meledak. Kemana sebenarnya ia pergi sampai berani meninggalkan sepatu kesayangannya ini? sebenarnya ibuku kau simpan dimana sih Tuhan? Kurasa ia selalu disekitarku. Sekalipun aku tak melihatnya. Kadang aku merasa kami sedang bermain petak umpat. Dan kau senantiasa mengumpatinya.

Kupukul lantai dengan sepatu merah itu “tuktuktuk... tuktuktuk...” ah... aku rindu bunyi ini. kupukul lagi dengan sedikit lebih kuat sehingga bunyi tuktuktuk nya terdengar lebih nyaring. “TUKTUKTUK...” ah dia pulang. aku terus memukul, sampai akhirnya aku tau bahwa ia memang sudah pulang. sepatu ini harus kubawa ke kamarku. sudah lama ibuku tak singgah ke kamarku. Tuhan aku menang. besok-besok jangan main petak umpet lagi ya...Terima kasih.

*** 
“emily... ayah bawa martabak kesukaanmu. Coklat dan keju.” Ayah memanggilku. Suaranya kuat,tapi bernada lembut. Selembut mentega di dalam martabak yang dibawanya. Aku masih sangat merindu ibu. Dan kuputuskan ayah menyantapnya duluan.

“jangan nanti-nanti. Aku membelikannya untukmu. Menteganya sudah meluber kemana-mana. Coklatnya juga.”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Simbol kekesalan menghadapi ayah yang tak sabaran. “iya...emily datang ayah.”
Aku menautkan pantatku di kepala kursi. “bagaimana sekolahmu? Apa ada kendala?” ia bertanya.
“sekarang bulan desember, dan seminggu lagi hari ibu.”
Ayah tergelagap. Kemudian ia berdeham “oke aku mewakili ibumu.”
“berarti ayah akan memakai kebaya seperti ibu-ibu.”
Ayah menelan ludah kemudian ia membeku persis seperti patung. “sudah tak usah dipaksakan. Ibu sudah bersamaku kok.”
“ya dia memang selalu bersamamu. Aku tau.” Wajah ayah tiba-tiba muram. Ia langsung masuk ke  kamar. Kurasa dia sebal karna kusuruh pakai kebaya. Aku menghabiskan dua potong martabak,lalu mengisap jempolku karna coklatnya lebih suka dihisap dari pada digigit.

*** 

Kawan-kawan sekelasku sedang ramai membicarakan kebaya yang akan dipakainya di hari ibu nanti. Terutama Debby,Angela dan Cindy. Mereka memang suka sok paling oke setiap ada acara disekolah. padahal menurutku biasa-biasa aja. Oh my God, Mereka menoleh ke arahku,sepertinya mereka tau kalau aku baru saja memperhatikan mereka. oke, sebaiknya aku segera beralih pandang dan mulai memikirkan bagaimana membawa ibuku nanti. aku percaya, Ibuku pasti akan menjadi yang teranggun disana. kita lihat saja.

***
  
Aku mengeluarkan ibu dari tas ranselku. Ku kasih kepada salah satu pegawai di suatu pabrik toko sepatu.
“aku ingin percis seperti ini.” aku mengenalkan ibu pada mereka. “ukuran kakiku dua puluh delapan.” Pegawai toko itu mengangguk.
“kembali sekitar lima hari lagi ya adik.” Kemudian ia tersenyum.
“tapi aku akan memakainya tiga hari lagi. ini kupakai buat hari ibu.”
Pegawai itu menghilang ke arah gudang. Kurasa ia mengadu kepada bosnya.
“oke kembali dua hari lagi.” aku tersenyum dan kuucapkan banyak-banyak terima kasih padanya. Kusertai senyum yang banyak juga.
Karna kakiku masih kecil, jadi ibu harus berubah jadi kecil dulu untuk mengawasiku ya...

*** 
Ayah meninggalkan ku di salon sejak kedua jarum jam di arlojiku sama-sama menunjuk angka lima. Ia berpesan kepada si mbak atau mas... ah aku bingung harus memanggilnya apa. Dia berjakun tapi memakai rok yang lebih pendek daripada rok ku di sekolah. Kata ayah padanya,supaya menata rambutku sebaik mungkin dan merias wajahku secantik hmm... aku maunya Emma Waston. Mbak atau mas itu mengangguk disertai senyum genit. Dia ganjen sekali. Ayah membalas senyumnya, tapi aku tau ayah sebenarnya jijik. Aku juga.
Oh iya. By the way,ibu yang kecil sudah jadi. Aku merasa kami menjadi sepantar. Ia teramat cantik dan aku merasa nyaman dibawanya. Pabrik sepatu itu memang juara. Kurasa ayah tak perlu tahu tentang ini. bisa-bisa ia membuang ibu yang kecil ke lubang sampah dan merebut kembali ibu yang besar ke kamarnya. Atau bahkan ikut membuangnya juga. sebab ia tak pernah suka kalau aku memakai barang atau bergaya seperti ibu yang menurutnya belum pantas. terlalu dewasa dan norak katanya. Ah laki-laki tau apa tentang perempuan.

***  

Mang ujang mengantarkanku terburu-buru karna aku baru saja rewel kepadanya supaya sampai tak tepat pada waktunya alias lebih dulu dari jam yang telah ditentukan sekolah. Aku tak mau berdesak-desakan masuk ke gerbang sekolah. Lagipula aku membawa ibu. Aku belum terbiasa membawa ibu dengan cara seperti ini ; menungganginya. Kakiku masih belum selihai dan selincah dia. Takut-takut nanti aku terjerembab karna bersenggolan.

“makasih mang Ujang. Jangan terlambat jemput ya.” mang Ujang memijak gas setelah menjawab perintahku. tuktuktuk ritme ibu dikakiku ini tak semerdu di kakinya. aku kesal sekali. tapi aku mengampuni diriku karna memang aku baru menggunakannya sekali. 

Aku bukanlah siswi yang paling dulu datang. Sebab Cindy dan Angel rupanya sudah duduk manis dengan ibu-ibu mereka disana. Cindy memakai kebaya dengan corak bunga mawar besar-besar berwarna merah. Sementara Angel memilih hijau. Bunga-bunga juga sih, tapi lebih kecil sekecil melati. Baju mereka sewarna dengan ibu mereka.  Dan aku sendiri, aku membungkus badanku dengan kebaya putih polos yang di setiap sisi-sisinya dipagari warna keemasan. Kebaya ini kembar dengan kebaya ibuku. Aku bukan hanya merasa cantik memakainya. Namun aku juga merasa sangat terjaga karna langkahku disertai ibu ; sepatuku.

Angel dan Cindy sedari tadi tampak memperhatikanku. Mereka tekun sekali melihat ibuku. Habis itu mereka sikut-sikutan sambil seperti ingin nyengir. Aku tak peduli,sebab kuanggap mereka itu sirik. Dari jendela kaca kelas yang lumayan besar,terlihat Debby baru saja datang. Dia pakai kebaya warna ungu,ibunya tertinggal beberapa langkah dibelakangnya dan memakai kebaya yang sewarna juga tentunya. kurasa mereka semua janjian. Cindy dan Angel berlari ke arah Debby. Mereka terlihat sedang ngerumpi. Debby melihat ke arah ibuku. Lalu ketiganya terkekeh-kekeh. Aku tak tau apa yang mereka tertawakan. Tapi yang jelas aku tak suka dengan cara mereka tertawa. mereka menutupi mulut mereka sambil tertawa. kurasa mereka semua juga kompakan untuk tidak gosok gigi sebelum berangkat kesekolah.

***
  
Acara telah dimulai. tari-tarian daerah selalu menjadi acara pembuka di sekolah. Dan Itu selalu dibawakan oleh anak kelas tujuh. Tahun lalu aku ikut jaipongan, dan semua guru bilang aku keren. saat itu ibu juga kecipratan dibilang keren karna mereka tau ibu adalah penari hebat. Saat itu hampir seluruh orangtua murid bahkan guru-guru menaruh takjub kepada kami ; aku dan ibuku. 

Debby berjalan ke arahku. Angel dan Cindy tiba dibelakangnya. Ibu-ibu mereka tampak tak terlihat di sekitar mereka. Debby mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku. Mulutnya hampir menerkam telingaku 

“sepatumu oke juga. mirip seperti sepatu-sepatu wanita nakal kalau ibuku bilang.” Mereka menertawaiku. Aku mendidih.
“bilang sama ibumu kalau dia terlalu kasian ditinggal ayahmu karna mungkin kurang nakal.” ayah Debby dan ibunya telah bercerai. Ku ketahui seminggu yang lalu karna dia terlalu sering mengusiliku. Dan sekarang kubuat lecutan untuknya agar supaya dia jera mengurusi hidupku.
“dasar kau kurang ajar. Anak pelacur.” Dia hampir meninjuku, aku menangkisnya duluan. Semenjak ia membilangku anak pelacur ada suatu energy yang besar tiba-tiba merasuki tubuhku. Emosiku tumpah ruah karna makiannya itu. Tau apa dia tentang ibuku? Kucengkramkan tanganku tepat di jajaran kancing-kancing kebayanya. Kutarik kuat hingga kancing-kancingnya terkoyak. Ia menangis. Aku tak peduli. Bahkan masa bodo kalau payudaranya sudah tumbuh. Sekarang hampir seluruh manusia yang hadir di sekolah ini menumpahkan pandangan mereka ke padaku. Dan sekarang aku merasa lebih menarik dari adik kelasku yang sedang menari. sekalipun pandangan yang kudapat adalah pandangan menjijikan.

Dari tengah-tengah keramaian Ami teman semejaku menyelinap masuk dengan tubuhnya yang sempit . “emily... buk roseni menunggumu di ruang bimbingan konseling bersama Debby dan Ibunya.”  Ia baru saja memberikan kabar yang berarti nelangsa untukku. 

    *** 

“kau mencurinya dari kamar ayahkan?” ayah menjewer kupingku. Aku diam saja.
“kau ini perempuan emily. Betapa malunya ayah dipanggil kesekolah karna kau berkelahi. Dan di depan banyak orang tua murid pula.” Ayah membentakku. Suaranya memenuhi seisi ruangan. Aku sontak terkejut,lalu menangis.
“dia mengatai aku anak pelacur ayah. Ibu bukan pelacur dan ayah tau itu.” Ulasku sesenggukan. Ayah membisu sebentar. kepalanya tertunduk dan tangannya menumpu dahinya.
“masalah awalnya bukan itu kan emily?  Masalahnya adalah kau masih kecil tapi sudah bergaya seperti orang dewasa. dan kawan-kawanmu tentu risih. Sekarang mana sepatu itu? Sepatu ibumu juga kembalikan.”
“tidak mau.”
“kembalikan emily. Sebelum ayah semakin marah.”
“emily tidak mau ayah. Ini barang ibu yang emily rasa ada ibu didalamnya. Emily selalu rindu bunyi sepatu ini. sepatu yang selalu emily kenali bunyinya. Emily mohon ayah, ambil saja yang kecilnya. Tapi jangan yang ini.” aku bersungut-sungut di lutut ayah. Ayah memandangku iba. Tapi wajah kesalnya terlihat lebih penuh.
“maaf emily... ayah harus mengambilnya, Karna tak menutup kemungkinan untuk kau menggandakannya lagi.” ayah menarik paksa ibu dari tanganku. Rasanya percuma kalau aku meronta-ronta karna tenaganya sudah jelas berkali-kali lipat dari tenagaku. Aku memasrahkan diri. yang terpenting aku sudah tau, kalau ibuku sudah pulang. sekalipun hanya alas kakinya saja.

***
     
Kaki-kaki senja sudah mulai lumpuh. Tubuhnya hampir sudah tidak berguna sehingga ia memilih tenggelam dan bersemayam di sepanjang hitam yang sering mereka sebut malam. aku baru saja selesai latihan menari. biasanya,aku menyembunyikan ibuku (yang kecil) ketika akan berhadapan dengan rumah. biasanya aku menggantinya dengan sepatu biasa. Dan biasanya ayah belum pulang jam segini. Tapi rupanya malam ini luar biasa. Di sepanjang jalan menuju rumah aku gentar karna suasananya begitu sunyi. Jadi aku lupa mengganti ibuku dengan sepatu cadanganku. Sementara Ayah pulang lebih dulu dan mampuslah aku.
“kenapa masih memakai sepatu itu emily?” ia menatap ngeri kepada ibu. Nada bicaranyapun menjelaskan bahwa singa telah memasuki tubuhnya. suaranya besar. Lebih besar dari tekanan batin yang sekarang kuderita.
“aku tak pernah merasa sendiri jika memakainya ayah. Ibu berada denganku. Tuk tuk tuk... tuk tuk tuk... begitukan suara ibu ayah? Tolonglah ayah. Emily butuh ibu.” Aku menjelaskan bunyi ibu dengan begitu mirip meskipun ketakutan sedang memijakku.
Ayah mengernyitkan dahinya. Alisnya terangkat sebelah. Mungkin ayah akan menghukumku lagi. aku rasa setelah ini ayah harus kuliah lagi di jurusan hukum. Karna kerjanya saat ini adalah tukang hukum.
“oke emily. Ayah akan berikan ibu kepadamu . ayah pikir ini memang sudah saatnya.” Aku sontak berdecak kaget. Aku melompat kepelukan ayah dan aku memeluknya dengan sangat girang. Rupanya aku salah untuk menyuruhnya kuliah di jurusan hukum. Aku salah sekali dan aku harus memeluk ayah lebih erat untuk menyampaikan maafku lewat dadaku ke dadanya.
     
***
                
“sepatu norak. Sepatu perempuan jalang.”
“PRAAAAAAKǃ” perempuan itu baru saja menyela ibuku. Kupikir dia pantas untuk dapat hukuman. Maka itu kupukul dia dengan ibuku kuat.
“masih kecil aja gayanya sudah seperti perempuan malam.” mulut orang ini sangat jahat. Aku tak suka dengan orang jahat. Ibu juga tak suka dengan orang jahat. Maka itu dia harus kupukul juga supaya menjadi baik.

Untuk orang-orang pencibir manapun yang berani sesukanya menilai buruk penampilan orang menurutku dia patut untuk diberi pelajaran. Dan saat ini kupikir aku sedang menjadi guru yang tepat untuk mereka. kecuali kalau aku sudah ketahuan ayah. Itu sudah lain cerita.

Tak berapa lama kudengar suara entah siapa dari kejauhan. “hey Emily, kau di panggil untuk keruang bimbingan konseling. segera.” Rupanya, aku akan segera masuk lagi ke dalam neraka.
***
Mesin mobil ayah sudah terdengar jelas di telingaku. Sekarang yang harus aku lakukan adalah mempertebal telingaku dan meredam emosiku kalau-kalau dia membuka pintu dan langsung memakiku. Sebab aku yakin pihak sekolah pasti telah memberi tahu profesi baruku menjadi tukang pukul selama disekolah tadi.
engsel pintu berderit. Suara sepatu ayah sudah bernafas di telingaku. Aku tergagap. Ayah menatapku nanar,dan aku merasa seperti aku ini buruan yang siap untuk di terkam. Tapi tidak. Kurasa bukan saat ini, karna tiba-tiba ayah tersenyum sumringah. Senyum yang sudah jarang ku lihat sebelum ibu pergi entah kemana. “emily... ini ayah bawakan martabak.” Bukannya senang karna tak jadi kena marah aku malah merasa aneh dengan ayah. Ini jauh diluar dugaan. Jauh sekali. 

“ayah tidak marah padaku? pihak sekolah tak...” ayah memotong kalimatku.
“ayah sudah tau. Kupikir kau memang sudah butuh ibu emily.”
“tentu ayah. Emily teramat sangat butuh ibu.”
“baguslah. Kalau begitu kau tunggu disini. ayah membawa kejutan untukmu. Ayah harap kau akan menyukainya.” ayah menyimpulkan senyum. ia menuju teras lagi seperti ingin mengambil sesuatu yang tertinggal.
 “tuk tuk tuk... tuk tuk tuk...” suara itu menggigit kupingku. Aku sangat hapal dengan bunyinya. Walaupun irama tuk tuk tuk nya sedikit ada yang berbeda. Suara itu semakin mendekat ke ambang pintu. Jantungku gemetaran, suara tuk tuk tuk itu mengusik telingaku. Apa ayah membawa ibu? Apa ibu sudah jera bersembunyi? Apa?
Aku membeku di ujung tanda tanyaku.

“emily... kalian tampak serasi. Dan aku berharap kalian akan...”
“ayah siapa dia?” aku menyela kalimat ayah dengan nada yang kubuat sangat kejam karna wanita yang dihadapanku ini berani-beraninya memakai ibuku yang besar.
“ayah rasa kau benar. Kau butuh ibu untuk menjagamu. Lily adalah sekertaris ayah. Ayah mengenalnya dengan baik. ia pantas menjagamu sayang.”
Wanita itu melebarkan garis bibirnya membentuk senyuman. Di berikannya tangannya padaku untuk supaya aku mau bersalaman dengannya. aku menatapnya dengan marah. Ku persempit jarak pandangku lalu ku tepis kencang tangannya. dia menjerit sedikit.
“emily apa yang kau lakukan?” ayah membentakku.
“kenapa sepatu ibu ada padanya? Emily tidak suka. sepatu merah itu yang melindungi surga ibu. Dia bukan surga emily. Emily gak mau berganti surga. Emily gak mau berganti ibu.”
Ayah tergelagap. Matanya melebar. Ditariknya tanganku hingga menjauh dari wanita yang tidak tau malu ini. yang berani-beraninya memakai ibuku yang besar.
“dia tulus ingin merawat kita sayang. hidupmu masih sangat panjang dan kau memang butuh ibu.” Nada ayah sangat halus. Mungkin sehalus bayi udang hingga akupun mendengarnya samar-samar.
“emily sudah menemukan ibu ayah. Ibu itu yang dipakainya. emily dan ibu lah yang nanti merawat ayah. emily tidak suka dia. Dia bukan surga emily. Suruh dia cari penghuni surganya. Emily tidak mau.”
Ayah memandangku dengan wajah ngeri. Sampai-sampai aku takut menatap ke dalam mata ayah. “kau mulai sakit emily. Ayah akan segera menikah. Kau tak bisa begini terus. Berhenti berkata sepatu itu adalah ibumu. Ayah tak pernah mengawini sepatu.” Ayah berjalan ke arah wanita itu. Aku dilewati nya begitu saja. aku memutar tubuhku ke arah mereka. Tangan ayah menggapai tangan wanita itu. ayah seperti akan membawanya lagi ke asal mulanya. Kupikir asalnya adalah neraka. Sebab aku merasa panas waktu berada di jarak yang dekat dengannya. sebelum ayah benar-benar mengantarnya lagi entah kemana. Aku bersuara.
“tante... emily rasa sepatu itu bukan milik tante. Dan menurut emily, tante tidak pantas memakainya. tante lebih pantas berkaki ayam.”

Wanita itu seketika seperti ingin mengerang. Ia cepat-cepat meloloskan ibu dari kakinya. aku cukup senang. Tapi lagi-lagi ayah membentakku. Dan aku mati-matian menulikan telinga,sebab kalimat ayah bisa saja mengiris telingaku karna sangkin tajamnya.

     ***
     
Sejak ayah mengenalkan sekertarisnya yang jelek itu, ayah menjadi sangat menyebalkan. Ia jarang dirumah dengan alasan yang membosankan. aku hampir selalu dimarahinya sekalipun kami sudah lebih jarang bertemu. Ayah masih bersikeras melarangku memakai ibu. Ia juga masih mati-matian melarangku untuk berhenti menari. tetapi aku menjadi lebih keras semenjak ia terus melarangku. Sekarang dinding rumah memilih menjadi batu es setiap kali ayah pulang. dinding itu seakan tahu mana yang salah dan mana yang benar.

sekarang ayah lebih sering menghabiskan waktunya dengan wanita sialan itu. dan belakangan ini aku lebih sering ingin mengintip ke hati ibu. Aku ingin tahu bagaimana hatinya kalau rupanya ayah telah berencana menggantikannya. Tapi dimana ibu sekarang? Apa aku harus menari lalu pura-pura tersandung supaya ia datang?

    ***   

“emily andai kau tahu betapa ayah ingin mengajakmu ke suatu tempat. betapa  Ayah ingin kau sadar nak.” Sayup-sayup suara ayah terdengar ke telingaku. Aku membuka mataku sedikit. Jam yang bertengger di meja belajarku menyapa mataku duluan. Pukul enam. Aku menggeser pandanganku ke dekat pintu. Tapi Ayah hampir saja menghilang dari pintu kamarku. 

“memangnya mau kemana?”
Ayah mengedikkan bahu. Ia terkejut lalu membalikkan badannya dan menujuku. “ke tempat ibumu.”
“ibuku yang mana?”
“ibumu yang melahirkanmu tentunya.”
Kepalaku spontan menggeleng sekuat-kuatnya begitu kalimat barusan turun dari mulut ayah. “itu bukan tempat ibu. Jangan pernah ayah bilang kalau tempat ibu disana,atau kalau tidak emily akan membenci ayah.”
“tapi memang disitu kenyataannya. Dan...”
Aku menyerobot kalimat ayah. “dan jangan pernah berharap kalau emily akan punya ibu baru. Itu tak akan.”
“emily,kau butuh seorang wanita dewasa yang akan merawatmu sampai kau juga dewasa.”
“tidak. Emily tidak butuh. Ibu bilang dewasa akan datang pada saatnya. Jangan mengada-ngada. Jangan berharap kalau...”
Sekarang ayah balas dendam menyerobot kalimatku. “aku telah menyebar undangan. Mau tak mau kau harus terima. Ini demi kebaikan...”
“oke. emily tidak akan pernah baik-baik kalau memang begitu.” Ayah tak boleh menyerobot kalimatku lagi karna aku sudah tak sanggup berkata-kata. Tenggorokanku betul-betul seperti baru saja menelan satu biji durian. Dadaku bergejolak dan jantungnya seperti sedang dicubit oleh jemari raksaksa.
“kau akan baik-baik saja sayang. Suatu saat kau akan mengerti. Gaun dan kebayamu sudah ayah siapkan. Warna merah seperti sepatumu.”

Kalimat ayah yang terakhir benar-benar meninju dadaku. seharusnya aku tidak usah bangun saja. atau seharusnya aku tidak usah bangun lagi jika akhirnya mati lebih baik daripada harus bernapas sesulit ini.

***
      
Aku beranjak dari tempat tidurku dan segera ku kemudi langkahku ke tempat dimana aku bisa menyembuhkan seluruh lukaku. semua organ tubuhku pada  bagian dalam seperti menjerit meronta-ronta ingin keluar. Dan ayah tidak tau itu. kalau sudah begini, sanggar tari adalah rumah sakit bagiku, dan menari adalah penawar sakitnya. Tak peduli sekarang hari minggu dan sanggar tariku tutup, aku benar-benar perlu melunturkan pedihku.
  
“aku mau menari.” pintaku pada Bio penjaga kelas tariku dengan pongah.
“tidak ada kelas tari hari ini.”
“tapi aku ingin menari.”
“jangan gila. sekarang tidak ada kelas. pulanglah.”

Bibirku bergemetar. Aku menarik napas panjang sampai hampir lupa menghembuskannya lagi. Bahuku naik turun. Ia seperti memompa supaya mataku tak bocor dan mengeluarkan air. Tapi rupanya aku tak butuh pompa. Aku butuh suatu pengganjal tapi aku tak punya. akhirnya,mataku bocor. 

“kau kenapa emily?” Bio sontak terkejut sewaktu air mataku meleleh,tapi ia wanita yang cukup pandai mengendalikan dirinya di setiap situasi. Dengan nadanya yang sehalus angin ia meraih tanganku. “Sepertinya kau butuh cerita dulu baru menari.” Bio membawaku ke beranda sanggar. Sebuah tempat bercerita yang lumayan asik dengan satu bangku panjang yang dinaungi pohon beringin yang rindang.

“oke emily. Kalau boleh aku tau,kau kenapa?” bio memulai pembicaraan. Ia menatap ke wajahku penuh penasaran.
“ayahku ingin menikah lagi.” aku sesenggukan dan malu untuk membalas tatapannya.
Mata bio melebar sebentar. Ia baru saja terkejut. “oh oke... itu memang menyakitkan.” Nada suara Bio menipis, lalu pandangannya mengikuti aku. Sekarang kami menunduk dan menatap kepada tanah.
“apa yang harus kulakukan? Aku tak mau punya ibu baru.”
“tak ada yang mau posisi ibunya digantikan. Aku tau betul itu. tapi seorang pria tidak akan pernah becus untuk tinggal tanpa wanita dewasa disampingnya.” Aku berpikir Bio sangatlah menyebalkan karna dia seperti berada di pihak ayahku.
“jangan sok tau begitu. Bahkan kau saja bukan seorang pria.” Aku menyambar dengan ketus.
“tapi ayahku tentu pria emily. Dan aku memang melihatnya sendiri.” Kali ini suara bio berubah menjadi parau. Aku melihat matanya sekilas.Tersirat wajahku begitu percis dengan wajahnya. Seperti ada kekacauan yang serupa disana.
“ayahmu juga menikah lagi?” tanyaku hati-hati.
“dua tahun yang lalu emily. Awalnya memang aku tak mengerti mengapa harus seperti ini. Awalnya aku memang melarangnya. Aku meronta-ronta, lalu ia sempat tak jadi menikah. Itu ketika umurku hampir sama denganmu. Ayahku menuruti permintaanku itu selama lima tahun. Namun aku melihat wajahnya menjadi dua kali lipat menua daripada umur seharusnya. Ia berantakan. Ia penjudi, pemabuk dan perokok keras. Dan itu semua demi menyanggupi permintaanku.”
“kenapa tak kau larang saja sekalian dia untuk tidak menjudi,merokok dan mabuk-mabukkan?”
“laki-laki itu mahkluk yang paling sulit untuk dilarang emily.”
“lalu kenapa dia menuruti permintaanmu untuk tidak menikah? Katamu laki-laki sulit untuk dilarang? Apa ayahmu bukan laki-laki?” aku mengerutkan kening mencerna kalimat bio dan sekaligus berpikir bagaimana bisa Ia lahir kalau seandainya ayahnya bukan laki-laki. “tapi sepertinya tidak mungkin ayahmu bukan laki-laki.” Sambungku setelah beberapa detik berpikir.
“yang benar saja. Tentu dia laki-laki. Laki-laki paling tangguh yang ku kenali. Hanya saja aku mengancamnya tidak akan tinggal lagi bersamanya. Karna aku putri satu-satunya,aku bagaikan mutiara yang mempunyai harga lebih tinggi dari apapun. Bahkan katanya lebih berharga dari nyawanya sendiri. Jadi ia tak jadi menikah.”  Bio memberi jeda,kulihat sekarang keningnya tampak berlipat seperti lemak perut. Kemudian ia melanjutkan “maksudku begini emily, kau tak mungkin bisa memperlakukan seseorang yang kau cintai seperti robot. Mereka perlu meluruhkan rasa sakit secepatnya. Dan mereka punya cara dan pilihannya sendiri. Aku hanya akan membunuhnya pelan-pelan kalau aku terus mengaturnya.”

Aku termenung lumayan lama. Sampai pada akhirnya terlintas dikepalaku untuk membiarkan saja ayah menikah. Tapi kemudian aku menyadari lagi ;bahwa aku betul-betul belum siap. “jadi ayahmu menikah lagi akhirnya?” imbuhku pada bio.
“iya. Awalnya memang aku tak terima dengan kehadiran ibu tiriku. Tapi semuanya berproses emily. Aku melihat dia begitu telaten mengurus ayahku, ia pun cukup baik terhadapku dan pelan-pelan aku mencoba menerimanya. Walaupun sampai sekarang belum sepenuhnya.”
 Aku menghembuskan napas panjang setelah menariknya kuat-kuat karna dorongan di dadaku yang sesak. “sebentar lagi mereka akan menikah Bio. Sebentar lagi aku akan hidup menderita. Bagaimana bisa aku sepertimu? Aku dan kau jelas berbeda.” kali ini suaraku terdengar sangat parau. Dunia sudah acak-acakan. Duniaku tentunya.
“kalau kau belum suka dengan ibu tirimu, kau cukup menghindari wajahnya dari matamu. Biar nanti hatimu yang menilai apakah dia seorang wanita yang benar-benar baik.” Bio mengalihkan pandangannya ke mataku setelah tangannya menampung daguku. Lalu ia menukas lagi. “untuk meredakan perasaan sakitmu, kau perlu melakukan aktivitas yang kau suka. Seperti menari. Kupikir menari adalah nyawamu. Benarkan?”
Aku tak menjawab pertanyaan bio. Yang dikepalaku sekarang hanya ada kegetiran dan ketakutan yang dahsyat. “aku takut sekali Bio.” Ungkapku.
Bio meraih tanganku lalu menariknya ke arah sanggar. Dengan cepat ia membuka pintu sanggar.
“ayo menari. Aku baru membuat gerakan baru. Ini sedikit sulit,tapi seru. Semacam salsa. Yakinlah, pasti seru.” Bio mulai memutar tubuhnya, tangannya mengambang secara cepat di udara. Pinggulnya bergoyang-goyang dan itu sesuai sekali dengan ritme musiknya.
“ayo emily. Ayolaaaah... cukup seperti ini.” Dia menggoyangkan lagi pinggulnya. “hanya seperti ini dan semuanya akan hilang. Masalahmu akan hilang dibawa angin. Makanya, gerakkan tubuhmu.”
Aku mencoba. Sebelumnya aku belum pernah salsa. Tapi bio benar, ini memang seru sekali. Tapi memangnya kapan menari bagiku itu tak seru? 

Aku terus menari, aku harus mengimbangi Bio. dalam menari juga dalam menghadapi ibu tiri nanti.
Kalau menari cukup menghilangkan rasa sakit walau sebentar, kalau begitu aku jadi penari saja di pernikahan mereka. setidaknya meskipun sebentar, aku tak perlu begitu sakit untuk melihatnya. Oh  yaampun mereka sangat menjengkelkan.


***
      
Ayah termenung di ruang TV. Wajahnya tampak mendung padahal hari begitu cerah pagi ini.
“ayah?” aku menyapa ayah sekaligus menyadarkannya dari lamunannya.
Ayah mengangkat matanya menemui mataku. Wajah mendungnya segera mengumpat dibalik senyumnya yang tampak percuma. “ya sayang.” Sahutnya.
“mau temani emily jalan-jalan?”
“oh tentu. Sebentar ya...”

Ayah mengindahkan permintaanku. Ia segera memanaskan mesin mobilnya. Aku lekas bersiap-siap. Di jalan dadaku serasa berdesir. Terus menerus dan kadang membuat perutku terasa sakit. Aku terus menunjukan jalan kemana aku dan ayah akan menuju.

Di persimpangan, dahi ayah mulai berkerut. mungkin ayah sudah mengenali bau jalan yang akan kami singgahi. Tapi aku memilih untuk pura-pura tak mengerti apapun selain musik yang kudengar di telinga sebelah kiriku menggunakan headset. Sebelah kanan sengaja tak kupasang, karna akan menganggu komunikasiku dengan ayah. 

Semakin masuk ke dalam, ayah semakin ragu untuk terus memijak gas mobilnya. Ditengah jalan yang sudah akan sampai tujuan , ayah berhenti.
“sebenarnya kita mau kemana emily?” tukasnya.
Aku tak menjawab pertanyaan ayah. karna beberapa langkah lagi kami sudah bisa sampai tujuan, aku membuka pintu mobil dan berlari ke tempat dimana ibuku bersemayam dengan tenang.
Ayah menyusul dibelakangku. Bisa kudengar derap langkahnya begitu gemuruh saat melihat aku berlari ke tempat si pemilik sepatu merah itu.

“emily... tidak. Berhenti disitu. – emily kumohon berhenti.” Ayah berteriak penuh kegetiran. Aku tau ayah sangat takut. Sebab sebelumnya aku seperti kesurupan saat melihat dia – wanita yang amat penuh kasih sayang untukku ini, harus tidur tersiram tanah. Aku sangat tidak rela saat itu, dan aku membuas kepada siapapun yang menabur bunga. Hingga aku kelelahan. Jatuh pingsan kemudian terbangun dan sudah terpapar di kamar. Semuanya terasa bagaikan mimpi. Kejadian di pemakamannya itu, setelah aku bangun dari mati suriku, aku memilih untuk mengingatnya sebagai mimpi buruk dan berpikir kalau ibuku hanya pergi sebentar keluar  negeri untuk belajar menari. Walaupun pada akhirnya aku tak pernah benar-benar yakin seperti itu.
Aku menoleh “tenang saja ayah, emily tak apa. Lagipula kemarin ayah memang akan membawaku kesini kan?” Ayah ikut menyusulku dibelakang,namun ia tak berkata apa-apa. Hanya sibuk memperhatikan ku dengan risau.
“dia sangat bahagia disana. ya kan ayah?” aku mengembangkan senyumku kepada ayah. rasanya teramat getir sampai-sampai tubuhku bergejolak. Bergetar hingga kemudian aku terisak.
“ayah emily rindu ibu.” Airmataku pecah. ayah menatapku penuh kepedihan. “sangat rindu sampai-sampai sulit untuk bernapas.”Ayah menarik tanganku dan langsung merengkuhku kedalam pelukannya.
“ibu inginkan kita bahagia. Ya kan ayah?” aku masih meratap sambil membelai nisan ibu. Sementara ayah hanya mengangguk dan terus membisu. “emily setuju kok ayah menikah sama tante lili.” Sebenarnya kalimat ini amatlah enggan aku ucapkan, namun entah mengapa ada kelegaan masuk ke dalam dadaku ketika aku mampu melepaskan egoku.

“tidak sayang. Tidak perlu begitu. Kita akan batalkan pernikahannya. Itulah yang sebenarnya akan lebih baik. maafkan.. ”
Aku menyambar kalimat ayah. “jangan!! Jangan batalkan. ibu pasti akan bersedih. Kita datang untuk memberitahukannya. Kita meminta restunya. Ayo sekarang ayah katakan apa yang harus dikatakan. Ya—ayah harus permisi dulu.” 

Ayah tertegun memandang nisan ibu. Matanya tampak kering sehingga air mata membasahinya. Ini adalah kali kedua aku melihat ayahku berair mata. Saat ibu pergi,dan  saat ini—saat kami datang menemuinya dimana ia sedang beristirahat sampai-sampai tak terlihat.
“anakmu mulai tumbuh dewasa bukan?” ayah mulai membuka mulutnya. “sebenarnya ia tumbuh dewasa bukan karna ku. Melainkan karnamu. Karna – ah,aku tidak tahu harus membilangnya bagaimana. Aku tak tau aku harus menyebutmu tiada atau menjadi lebih ada—disisi pun dihatinya.” Aku menunduk. Ayah berjeda. Mengambil kekuatan untuk tetap bicara. “keadaan memang selalu mampu merubah segala. Bahkan Ke ‘ada’anmu telah mampu merubah seekor anak ayam menjadi seekor macan dewasa. Kenyataannya Begitulah emily kita sekarang. Ia bahkan lebih tangguh daripada aku karna sudah jago berantam .” Ayah menggapai tanganku sambil tersenyum lirih, lalu meraihku kepangkuannya. “aku hanya ingin mengatakan bahwa sejak awal—sejak kita berhubungan tak ada satupun hal yang mampu membuatku membencimu selain pergimu. aku tak tau harus berkata bagaimana—kau adalah wanita terhebat yang pernah kutemui. Aku hampir tak bisa merawat diriku apalagi anak kita. aku hanya berharap kau mengerti  mengapa aku harus menikahinya dan mengerti betapa sulitnya hal bodoh ini untuk kuterima. Sebab tak akan ada yang pernah benar-benar menggantikan tempatmu. Kuharap kau tau ini, sebab kaulah penghuni didalamnya. Kaulah hatiku. Dan maafkanlah aku jika ini salah. Aku hanya mencoba menyelamatkan semesta kita. aku mencoba menyelamatkannya. Anak kita.” aku mengangkat kepalaku kepada ayah, segera kuhapus kesedihannya dengan tisu di tanganku. Ayah mencium keningku lalu mengangkatku dari pangkuannya ke sisinya. Ia segera mencium nisan ibu dengan hati yang berpindah kebibirnya. Setelah itu aku menyusul. Menciumnya dengan doa yang selalu ingin kusampaikan padanya. 

Sebelum meninggalkan makam ibu, aku menoleh sekali lagi kebelakang. Aku merasakan kakinya benar-benar mengikuti langkahku. kugenggam kuat tangan ayah, dan setelah itu aku percaya bahwa ia tak akan pernah kemana-mana selagi aku benar-benar merawatnya. Ia – ibuku-si-penari-itu. selalu menari dihatiku.